Malam minggu yang menegangkan!
Malam minggu yang diramaikan oleh urusan sengketa harta antara ibu dan anak yang masih tersangkut paut keluarga jauh dengan ayah saya. Seharusnya ayah saya yang menjadi penengah, mendengarkan, memberikan masukan, dan pada akhirnya dengan sabar akan menolong sang ibu yang renta itu untuk mengurus segala tetek bengek urusan hartanya ke notaris dll, namun berhubung beliau sedang memberikan tutorial di daerah, maka ibu saya pun mengedepankan diri menggantikan suami dengan terpaksa. Saya miris sendiri! Di senja usianya, seharusnya si ibu bisa berdamai dengan anak-anaknya, dengan legowo menyelesaikan perihal warisan sesudah ditinggal pergi suami tiga tahun lalu, tetapi entah mengapa itu tak terjadi dan perihal harta pun berbuntut perselisihan yang tak berkesudahan dengan salah satu anak beliau. Dilain sisi, si anak pun dengan usia yang tak lagi bisa dikatakan muda, entah juga mengapa, seperti tidak pernah memahami karakter sang bunda (atau ia begitu karena telah begitu memahaminya), walaupun tak bisa juga disalahkan jika ia menuntut warisan yang ditinggalkan sang ayah. Apa mau di kata, saya sendiri setiap kali mendengar ayah saya bercerita tentang masalah harta antara ibu dan anak itu, hanya bisa berucap dan berdoa semoga hal-hal demikian dijauhkan dari anak keturunan saya.
Harta memang penting, tetapi jika pada akhirnya membuat hubungan mesra antara orangtua dan anak menjadi menguap dan berujung pada pertikaian, lalu untuk apa harta? Jika harta hanya membuat hidup kita merana, buat apa coba?
Saya ingat selalu apa yang dikatakan oleh ibu saya sejak dulu dan hingga kini kata-kata itu kerap diulanginya jika kami mengetengahkan topik tentang kericuhan si A dan si B atau si D yang berpangkal dari masalah harta benda. Begini kata beliau..."Mama papa tidak bisa meninggalkan harta benda kepada kalian karena memang kita bukan orang berada. Harta yang mama apa punya ya isi kepala kalian itu. Karena apa yang ada di kepala itu tidak akan hilang dan pandai-pandailah menggunakannya."
Usut punya usut, ternyata petuah itu diturunkan oleh kakek saya yang juga bukan berasal dari kalangan berada. Hanya seorang pegawai kantor pos yang beristrikan bidan dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga setelah hadirnya ibu saya dan kedua orang adik laki-lakinya. Petuah yang juga insyaallah akan saya wariskan kepada anak-anak saya nanti. Karena memang terbukti bahwa sesungguhnya harta yang paling berharga adalah otak dan hati kita. Bukan harta yang berwujud emas, rumah, mobil, atau kebun sawit yang berhektar-hektar. Melainkan sinkronisasi antara isi kepala dan hati.
Malam minggu yang diramaikan oleh urusan sengketa harta antara ibu dan anak yang masih tersangkut paut keluarga jauh dengan ayah saya. Seharusnya ayah saya yang menjadi penengah, mendengarkan, memberikan masukan, dan pada akhirnya dengan sabar akan menolong sang ibu yang renta itu untuk mengurus segala tetek bengek urusan hartanya ke notaris dll, namun berhubung beliau sedang memberikan tutorial di daerah, maka ibu saya pun mengedepankan diri menggantikan suami dengan terpaksa. Saya miris sendiri! Di senja usianya, seharusnya si ibu bisa berdamai dengan anak-anaknya, dengan legowo menyelesaikan perihal warisan sesudah ditinggal pergi suami tiga tahun lalu, tetapi entah mengapa itu tak terjadi dan perihal harta pun berbuntut perselisihan yang tak berkesudahan dengan salah satu anak beliau. Dilain sisi, si anak pun dengan usia yang tak lagi bisa dikatakan muda, entah juga mengapa, seperti tidak pernah memahami karakter sang bunda (atau ia begitu karena telah begitu memahaminya), walaupun tak bisa juga disalahkan jika ia menuntut warisan yang ditinggalkan sang ayah. Apa mau di kata, saya sendiri setiap kali mendengar ayah saya bercerita tentang masalah harta antara ibu dan anak itu, hanya bisa berucap dan berdoa semoga hal-hal demikian dijauhkan dari anak keturunan saya.
Harta memang penting, tetapi jika pada akhirnya membuat hubungan mesra antara orangtua dan anak menjadi menguap dan berujung pada pertikaian, lalu untuk apa harta? Jika harta hanya membuat hidup kita merana, buat apa coba?
Saya ingat selalu apa yang dikatakan oleh ibu saya sejak dulu dan hingga kini kata-kata itu kerap diulanginya jika kami mengetengahkan topik tentang kericuhan si A dan si B atau si D yang berpangkal dari masalah harta benda. Begini kata beliau..."Mama papa tidak bisa meninggalkan harta benda kepada kalian karena memang kita bukan orang berada. Harta yang mama apa punya ya isi kepala kalian itu. Karena apa yang ada di kepala itu tidak akan hilang dan pandai-pandailah menggunakannya."
Usut punya usut, ternyata petuah itu diturunkan oleh kakek saya yang juga bukan berasal dari kalangan berada. Hanya seorang pegawai kantor pos yang beristrikan bidan dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga setelah hadirnya ibu saya dan kedua orang adik laki-lakinya. Petuah yang juga insyaallah akan saya wariskan kepada anak-anak saya nanti. Karena memang terbukti bahwa sesungguhnya harta yang paling berharga adalah otak dan hati kita. Bukan harta yang berwujud emas, rumah, mobil, atau kebun sawit yang berhektar-hektar. Melainkan sinkronisasi antara isi kepala dan hati.
Comments
Post a Comment