Skip to main content

Death

Pernah mimpi mati, wafat, atau meninggal?

Saya pernah! Belum lama ini. Kira-kira dua minggu yang lalu. Seperti nyata. Seperti bukan mimpi. Sungguh mengerikan, kawan. Di dalam mimpi itu, saya melihat tubuh saya yang tertutup kain batik panjang terbujur kaku dikelilingi oleh keluarga di ruang keluarga di rumah orangtua saya. Semua saya lihat tersedu, tetapi bukan itu yang membuat saya sedih.

Di dalam mimpi itu, saya sama sekali tidak peduli dengan tangisan dan sedu sedan orang perorang yang saya tinggalkan, baik itu orangtua saya, adik-adik saya, dan yang lainnya. Masih saya ingat jelas mimpi malam itu, bagaimana saya kaget bukan alang kepalang melihat tubuh saya tak bergerak di tengah-tengah orang banyak, saya betul-betul panik (bahkan saya tidak pernah merasakan kepanikan seperti itu sebelumnya) mendapati saya tak bernyawa lagi. Lalu saya berteriak sekuat yang saya bisa dengan segala kepanikan dan ketakutan yang luar biasa bahwa "Saya belum siap, Tuhan. Belum siap. Saya belum mempersiapkan apa-apa". Tetapi sia-sia saya berteriak, saya tidak melihat tubuh kaku saya bergerak barang semili pun. Tuhan pun tidak memberikan jawaban apa-apa. Yang saya rasakan adalah ruang hampa suara walaupun saya yang entah berwujud apa saat itu berada di dalam ruangan yang sama dengan orang-orang yang menangisi jasad saya.

Dan ketika saya terbangun, saya betul-betul bersyukur. Bersyukur saya masih hidup, bersyukur saya masih berada disamping suami saya, bersyukur masih tidur satu ruangan dengan dua buah hati saya. Tetapi sebenarnya bukan itu yang saya syukuri, melainkan sebuah kesempatan yang diberikan Tuhan untuk saya guna menghabiskan sisa usia saya yang berbatas itu dengan segala sesuatu yang baik sebagai modal saya menghadap-Nya kelak. Sepatutnya saya berterimakasih kepada-Nya atas mimpi yang diciptakannya dalam tidur saya malam itu. Terlepas dari pikiran saya yang mungkin saat itu dipenuhi dengan berita seputar korban kecelakaan pesawat jet Sukhoi, artikel-artikel tentang Almh.Menteri Kesehatan, dan terakhir kabar kanker serviks stadium 2B tetangga ipar saya. Dengan mimpi itu saya jadi tahu bagaimana rasanya melihat jasad saya sendiri, tak bergeming dingin ditengah keramaian orang-orang yang saya tinggalkan. Sebuah rasa yang tidak bisa saya definisikan. Dingin, jauh, sangat hening, dan tak tersentuh apapun.

Semoga mimpi itu bisa menjadi pelecut semangat bagi diri saya untuk lebih meningkatkan amal ibadah dan ketakwaan saya, melakukan segala hal dengan baik, bertanggung jawab, dan bermakna agar saya bisa mempertanggungjawabkan semua yang saya lakukan jika nanti saya dipanggil-Nya kapanpun. Karena jika tiba saatnya nanti, hanya amal perbuatan dan buah dari kebaikan saya saja yang sesunggunya bisa menjadi sahabat saya.

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di