Skip to main content

Mendidik Perut Para Pejabat

Beberapa orang dari keluarga Bani Marwan berkumpul di istana Umar bin Abdul Aziz. Sang khalifah sengaja menahan mereka untuk duduk di sana agak lama. Segala sesuatupun direncanakan.

"Jika aku memanggilmu untuk menghadirkan makanan, maka kamu jangan segera menyuguhkannya!" perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada juru masak di istananya.

Benar, rencana pun berjalan dengan lancar. Keluarga Bani Marwan berkumpul di sana hingga hari telah menjelang siang. Khalifah tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak terbiasa menahan lapar. Raut-raut kegelisahan mulai mewarnai satu persatu wajah-wajah para bangsawan itu.

Kemudian juru masak itu keluar melewati mereka. Umar bin Abdul Aziz pun segera berseru memanggilnya: "Cepat, hadirkan hidangannya!"
Juru masak itu paham apa maksud sang khalifah. Ia berlama-lama di dapur. Hidangan yang telah dibuatnya tak segera dikeluarkan. Melihat makanan tak kunjung juga dihidangkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz bertanya pada wajah-wajah yang telah dililit rasa lapar itu: "Apakah kalian semua terbiasa makan tepung dan kurma?"

Tak ada pilihan lain bagi mereka untuk menahan rasa lapar selain mengiyakan tawaran Khalifah untuk memakan tepung dan kurma. Tepung dan kurma dihadirkan dan mereka memakan dengan lahap makanan yang tak biasa mereka makan lantaran lapar.

Setelah mereka selesai memakan tepung dan kurma, datanglah juru masak membawa hidangan yang lezat. Namun mereka diam tak mau mengambilnya. Melihat hal itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz bertanya pada mereka: "Kenapa kalian tak mau memakannya?"

"Wahai Amirul Mukminin, kami sudah tak sanggup lagi memakannya." jawab mereka.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkali-kali mempersilahkan mereka untuk memakan hidangan yang baru saja disuguhkan, namun mereka tetap enggan untuk memakannya karena kenyang dengan tepung dan kurma.

"Celaka kalian, hai Bani Marwan! Lalu dengan apa kalian nanti makan di neraka??" kata Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberi pelajaran berharga pada mereka. Semua yang hadir menangis mendengar ungkapan sederhana Umar bin Abdul Aziz itu.

Barangkali di dunia kita masih bisa memilih-milih apa yang kita suka untuk memuaskan nafsu perut kita. Semua ada, namun sayangnya perut ini terlalu lemah untuk qana'ah, kecuali jika memang dididik oleh pemiliknya. Urusan perut merupakan salah satu sumber bencana besar di dunia.

Seseorang nekat mencuri untuk urusan perut. Seorang pejabat rela mendhalimi rakyatnya dengan melakukan korupsi dan sejenisnya gara-gara ingin memuaskan urusan perutnya. Dua orang bersaudara harus saling baku hantam disebabkan mereka memperebutkan urusan perut yang kadang tak seberapa jumlah nominalnya.

Karena itulah Khalifah Umar bin Abdul Aziz ingin mendidik perut-perut bangsawan yang terbiasa menikmati kemewahan. Sesekali mereka harus diajak untuk merasakan apa yang tak biasa mereka rasakan. Suatu saat mereka harus merasakan derita lapar agar tak mudah mengambil dengan paksa harta yang dimiliki oleh rakyat miskin. Mereka juga harus dididik merasakan santapan sederhana, agar tak mudah memaksa rakyat kecil dengan pungutan-pungutan haram. Agar mereka tahu, rakyat kecil itu untuk makan saja susah, apalagi jika mereka dibebani beban-beban yang mendhalimi mereka. Agar hati–hati yang mati karena kemewahan itu kembali hidup dan memiliki respect yang tajam akan apa yang terjadi pada rakyat dan apa yang diinginkan mereka selama ini.

Seorang pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang bisa mendengar suara hati rakyatnya lalu memperjuangkannya. Dan dalam kisah di atas telah membuktikan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz lebih merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat daripada saudara-saudaranya dari keluarga Bani Marwan. Setidaknya keluarga Bani Marwan menyadari kenapa kebijakan-kebijakannya selama ini terbaca berat sebelah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz lebih memberatkan urusan rakyatnya daripada perut keluarganya.**

(http://www.cahayasiroh.com/index.php?option=com_content&view=article&id=163:mendidik-perut-para-pejabat&catid=66:inspirasi&Itemid=234)

Comments

Popular posts from this blog

Dagangan Perdana

Ini sebenarnya postingan yang seharusnya diunggah 17 Januari. Unggahan tentang keberhasilannya menjalankan bakat kisprenerushipnya. "Sayang....gimana spagetinya?" "Alhamdulillah laris manis, Bun!" "Alhamdulillah...." "Trus,spageti untuk Bu Alha gimana?" "Maaf, Bun...untuk Bu Alha dibeli sama kawan Hamzah!" "Ooo...gitu...." "Iya! Bun...uang Hamzah banyak. 24 ribu. Tapi Hamzah pusing pas kawan-kawan rebutan." Bahagianya tak terkatakan. Ibunya lebih bahagia lagi. Pagi-pagi menyiapkan semua bahan untuk jualan perdananya. Anak lanang itu sendiri yang ingin mencoba berdagang. Beberapa hari kemarin bolak-balik bertanya apa kira-kira yang pas untuk dijualnya kepada teman-teman sekelasnya. Minuman atau makanan? "Jualan spageti aja gimana, Bun? Hamzah suka kesal soalnya tiap bawa spageti ke sekolah, teman-teman suka minta. Hamzah jadi dapatnya sedikit." Dari rasa kesalnya itulah ide ...

Senin, 13 Juni 2016; 22.14 WIB

Alhamdulillah sudah ditamatkannya Iqra 1 semalam di bilangan usianya yg baru 4 tahun 3 bulan 11 hari.  Sudah dengan lancar dibacanya seluruh deretan huruf Hijaiyah dengan susunan runut, acak, maupun dr belakang. Bukan hal yg istimewa utk Musa sang Qori dari Bangka Belitung mungkin, tetapi ini menjadi berkah luar biasa untuk kami. Semoga Allah selalu memudahkanmu untuk menyerap ilmu-ilmu Islam berdasarkan Quran dan teladan Rasulullah ya, Nak. Semoga ilmu-ilmu itu nanti senantiasa menjadi suluh yg menerangi setiap langkahmu dlm menjalani kehidupan ke depan dengan atau tanpa ayah bunda. Semoga juga ilmu itu tak hanya menjadikanmu kaya sendiri, tetapi membuat orang-orang disekelilingmu pun merasakan manfaatnya karena ilmu yg bermanfaat itu adalah ilmu yg bisa diberikan dan bermanfaat bagi orang lain di luar dirimu. Allah Maha Mendengar. Dengan doa dan pinta Bunda, Allah pasti akan mengabulkannya. Amin. 😍

Tentang Ibu (1)

Ada yang berubah dari Ibu.  Perubahan yang membahagiakan. Kerinduannya yang terobati pada tanah suci, Kabah, dan makam Rasulullah telah membuat Ibu kembali seperti tahun-tahun sebelum 2016.  Ibu kembali sehat. Lahir dan batin. Setelah hampir tiga minggu Ibu bersama kami, baru malam lusa kemarin saya lama bercengkerama di kamar beliau. Izzati belum mengantuk.  Jadi sengaja saya membawa cucu bungsunya itu bermain-main di tempat tidur beliau.  Sambil bermain dengan Izzati, saya bertanya tentang banyak hal mengenai kepergiannya ke tanah suci di awal 2017 kemarin. Ibu begitu bersemangat menceritakan pengalamannya.  Posisinya yang semula duduk, berganti menjadi berdiri.  Tangannya bergerak lincah memperjelas berbagai kegiatan yang dilakukannya di sana. Matanya berbinar-binar. Air mukanya berseri-seri. Tak terbayangkan skala kebahagiaan yang melingkupi hatinya ketika menjejaki Baitullah. Ibu kami memang sudah lama sekali ingin ke Kabah. Semasa almarhum Bapak...