Anak bujang kecil saya bersender pada dinding kamar dengan sarung ungunya yang telah rapi terpasang.
"Bunda, Rio malas nian liat kawan Rio ini. Masak dia itu suka minta imbalan."
"Imbalan apa, Nak?"
Alis matanya seakan bertaut, keningnya sedikit berkerut.
"Kan gini critanya...dia kemarin nawarin Rio es. Rio ambilan segigitan. Trus tadi waktu Rio makan kue, masak dia bilang gini....Rio mintalah kuenya. Kemarin kan Rio kami kasi es. Itu kan namanya minta pamrih, Bun. Dak boleh lah gitu. Ya kan, Bun?"
Senyum saya mengembang.
"Iya. Dak boleh seperti itu, Nak. Kita dak boleh mengungkit-ungkit apa yang sudah kita kasi ke orang lain."
Bujang kecilku bersungut-sungut. Mungkin wajah temannya itu masih terbayang di matanya.
"Tu lah...! Kawan Rio tu suka gitu. Malas Rio jadinya."keluhnya lagi.
"Besok Rio bilang sama kawan Rio itu. Kalo mau, minta aja. Jangan pake diungkit-ungkit apa yang sudah dikasinya ke Rio. Biar pahalanya dak hilang. Rio juga harus gitu."
Wajahnya sedikit cerah. Adzan di musala yang tak seberapa jaraknya dari rumah kami berhenti. Tangan gemuknya bersiap-siap membentangkan sajadah.
"Rio sembahyang di rumah bae yo, Bun. Hari kan hujan."
"He..eh. Tukmaninah ya sembahyangnya."
Dari pantulan di cermin meja rias, si bunda dengan senyum memperhatikan tiap gerakan sholatnya. Hanya sepenggal maghrib, tetapi ada sepenggal nilai baik yang telah tertanam di hatinya.
I love you, Rio.
"Bunda, Rio malas nian liat kawan Rio ini. Masak dia itu suka minta imbalan."
"Imbalan apa, Nak?"
Alis matanya seakan bertaut, keningnya sedikit berkerut.
"Kan gini critanya...dia kemarin nawarin Rio es. Rio ambilan segigitan. Trus tadi waktu Rio makan kue, masak dia bilang gini....Rio mintalah kuenya. Kemarin kan Rio kami kasi es. Itu kan namanya minta pamrih, Bun. Dak boleh lah gitu. Ya kan, Bun?"
Senyum saya mengembang.
"Iya. Dak boleh seperti itu, Nak. Kita dak boleh mengungkit-ungkit apa yang sudah kita kasi ke orang lain."
Bujang kecilku bersungut-sungut. Mungkin wajah temannya itu masih terbayang di matanya.
"Tu lah...! Kawan Rio tu suka gitu. Malas Rio jadinya."keluhnya lagi.
"Besok Rio bilang sama kawan Rio itu. Kalo mau, minta aja. Jangan pake diungkit-ungkit apa yang sudah dikasinya ke Rio. Biar pahalanya dak hilang. Rio juga harus gitu."
Wajahnya sedikit cerah. Adzan di musala yang tak seberapa jaraknya dari rumah kami berhenti. Tangan gemuknya bersiap-siap membentangkan sajadah.
"Rio sembahyang di rumah bae yo, Bun. Hari kan hujan."
"He..eh. Tukmaninah ya sembahyangnya."
Dari pantulan di cermin meja rias, si bunda dengan senyum memperhatikan tiap gerakan sholatnya. Hanya sepenggal maghrib, tetapi ada sepenggal nilai baik yang telah tertanam di hatinya.
I love you, Rio.
Comments
Post a Comment