Skip to main content

Sepenggal Maghrib Kami

Anak bujang kecil saya bersender pada dinding kamar dengan sarung ungunya yang telah rapi terpasang.

"Bunda, Rio malas nian liat kawan Rio ini. Masak dia itu suka minta imbalan."

"Imbalan apa, Nak?"

Alis matanya seakan bertaut, keningnya sedikit berkerut.

"Kan gini critanya...dia kemarin nawarin Rio es. Rio ambilan segigitan. Trus tadi waktu Rio makan kue, masak dia bilang gini....Rio mintalah kuenya. Kemarin kan Rio kami kasi es. Itu kan namanya minta pamrih, Bun. Dak boleh lah gitu. Ya kan, Bun?"

Senyum saya mengembang.

"Iya. Dak boleh seperti itu, Nak. Kita dak boleh mengungkit-ungkit apa yang sudah kita kasi ke orang lain."

Bujang kecilku bersungut-sungut. Mungkin wajah temannya itu masih terbayang di matanya.

"Tu lah...! Kawan Rio tu suka gitu. Malas Rio jadinya."keluhnya lagi.

"Besok Rio bilang sama kawan Rio itu. Kalo mau, minta aja. Jangan pake diungkit-ungkit apa yang sudah dikasinya ke Rio. Biar pahalanya dak hilang. Rio juga harus gitu."

Wajahnya sedikit cerah. Adzan di musala yang tak seberapa jaraknya dari rumah kami berhenti. Tangan gemuknya bersiap-siap membentangkan sajadah.

"Rio sembahyang di rumah bae yo, Bun. Hari kan hujan."

"He..eh. Tukmaninah ya sembahyangnya."

Dari pantulan di cermin meja rias, si bunda dengan senyum memperhatikan tiap gerakan sholatnya. Hanya sepenggal maghrib, tetapi ada sepenggal nilai baik yang telah tertanam di hatinya.

I love you, Rio.

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di