Skip to main content

Menyesalkah Tuhan?

Semoga Tuhan tidak menyesal telah memberikan Indonesia dengan sejuta kekayaannya di darat, laut, dan udara kepada kita.

Saya hanya kembali miris membaca salah satu artikel di Kompas Edisi Sabtu, 29 Oktober 2011 . Diberitakan bahwa saat ini Singapura, negara tetangga, telah memiliki pusat penelitian kebumian dengan fokus kajian gunung api, gempa bumi, dan tsunami. Sebuah pusat penelitian yang seharus sudah sejak dulu sekali ada di Indonesia mengingat Indonesia adalah tempatnya 129 gunung api, atau 30 persen dari total gunung api di dunia. Sejarah sendiri yang mencatat bagaimana dahsyatnya letusan Tambora, Krakatau, dan Toba telah mengubah peradaban dunia dan membuat empat musim di Eropa menjadi tak sama siklusnya. Kita pun tak mungkin lupa dengan keganasan Tsunami Aceh yang membuat merana ratusan ribu jiwa di tanah serambi mekah dan tercatat menjadi sejarah duka abadi ibu pertiwi, bahkan turut serta berimbas pada beberapa negara lainnya. Atau yang terbaru adalah letusan Gunung Merapi yang meluluhlantakkan kehidupan warga yang bergantung pada lereng dan kakinya. Bukan hanya pencarian, banyak jiwa saat itu juga menjadi abu seketika tersaput ratusan derajat celcius awan panas. Di susul saat ini dengan letusan kambuhan Gunung Lokon di Tomohon, batuk-batuknya anak Krakatau di Selat Sunda, dan sesekali mengeliatnya Marapi di Sumbar.

Lalu pertanyaannya, mengapa justru Singapura yang punya inisiatif untuk mendirikan pusat kajian vulkanologi? Mengapa bukan Indonesia? Mengapa tidak terusik sedikit pun hati pemerintah dan orang-oang pada bidang-bidang yang terkait untuk sebisanya berkolaborasi membentuk pusat kajian yang sama guna mempelajari lebih dalam tentang vulkanologi dan ilmu-ilmu yang menyertainya demi banyak hal yang tentunya berujung pada kemaslahatan orang banyak yang tinggal dan bergantung pada gunung api.

Atau barangkali mereka berpikir adalah sebuah kesia-sian saja membuat pusat kajian tersebut mengingat kapan meletusnya gunung api dan terjadinya tsunami tidak dapat diperkirakan. Itu semua terjadi semata atas kehendak-Nya. Contoh saja Jepang yang canggihnya merancang bangunan tahan gempa da Tsunami. Buktinya? Karam juga. Jadi cukup diterima saja dengan lapang dada dan fokus pada penanganan menjelang letusan setelah terlihat tanda-tanda pastinya dan penanganan pada saat dan setelah letusan atau gempa tsunami. Begitukah? Fakta di lapangan yang kita lihat di media selama ini memang begitu, bukan?

Atau mungkin pemerintah memang tengah kesulitan mengalokasikan dana untuk itu sehubungan dengan banyak hal lain yang jauh lebih penting dan mendesak untuk dikucurkan uang segar. Entahlah!

Karena jika dilihat secara kasat mata, bidang-bidang lain pun sepertinya tak mendapatkan perhatian penuh juga dari pemerintah. Pertanian, misalnya. Petani tetap saja menjadi pihak yang sangat jarang dimenangkan oleh pemerintah dengan kebijakannya. Petani kentang, petani kedelai, petani beras, petani gula, dan petani wortel contohnya. Tidak ada petani yang bahagia dengan kebijakan impor produ-produk tani itu.

Saya yang mungkin hanya tahu permasalahan sebatas yang saya baca di koran dan saya dengar di TV, yang sangat mungkin tidak komprehensif melihat permasalah-permasalahan ini, dan sebatas menjadi komentator amatiran, toh dengan pemikiran yang sederhana dan beberapa referensi nyata yang saya lihat bagaimana pemerintah di negera lain bisa dengan tegasnya membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat, sangat wajarlah sekiranya jika saya berpikir..."Mengapa Pemerintah kita tidak bisa melakukan hal yang sama. Melakukan hal-hal baik yang menguntungkan rakyatnya sebagai bentuk rasa syukur atas murah hatinya Tuhan melimpahkan daratan, lautan, dan udara yang sarat kekayaan dari Sabang sampai Merauke."

Saya benar-benar berharap semoga Tuhan tak menyesal memberikan kita Indonesia.

(*tertumpang harap pada beberapa teman yang punya mimpi mulia memimpin negeri dengan mengambil langkah luar biasa meninggalkan lahan kerjanya sebagai birokrat, beralih ke pekerjaan lain yang menjanjikan dengan tujuan mengumpulkan modal untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin di daerah kelahirannya. Semata sebagai bentuk ketidakpuasannya melihat kinerja pejabat yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan kalangannya. Semoga terwujud. Amin.)

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di