Skip to main content

Ketika Konsumen Tak Lagi Menjadi Raja

Kasiannya si Chet, warga negara Amerika yang sedang belajar bahasa Indonesia di kantor kita.

Blackberry-nya bermasalah. Ketika bangun pagi ia mendapati BB-nya tidak bisa digunakan lagi. Entah apa yang salah. Si Bule pun tidak tahu pasti. Yang pasti tahu apa masalahnya ya orang-orang yang menjual BB itu kepadanya. Untungnya BB-nya masih dalam masa garansi sehingga kekhawatirannya tidak begitu besar. BB-nya akan bisa aktif kembali dan siap digunakan dalam beberapa hari ke depan jika dibawa kembali ke tempat ia membelinya dulu dan bercerita tentang masalah yang dihadapinya. Logikanya seperti itu, karena memang garansi berarti jaminan barang yang telah dibeli akan diperbaiki jika mengalami kerusakan.

Malangnya, Chet tidak seberuntung perkiraannya. Ketika pria itu melaporkan kerusakan pada BB-nya di tempat ia membeli gadget canggih itu. Dari penuturannya di penghujung kelas, ia mengatakan bahwa orang yang menjual gadget itu mengatakan kalau gadgetnya kemasukan air yang artinya kerusakan perangkat selularnya itu tidak dapat dimasukkan dalam layanan service yang ditanggung garansi. Lalu? Lalu dengan kemampuan bahasa Indonesia yang masih minim, Chet sepertinya tak berdaya melakukan apa-apa selain membawa pulang BB-nya tersebut dan menceritakan pengalamannya itu kepada salah satu staf pengajar hari ini dalam sesi berbicara pada jam kedua menjelang pukul 11 tadi.

Apa yang bisa dilakukan kemudian? Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah menemaninya kembali ke toko tempat ia membeli BB itu, melaporkan secara rinci apa yang terjadi pada BB si Chet. Setidaknya menjadi penyambung lidah si Chet lah untuk keterbatasan bahasa yang masih menjadi kendalanya.

Dari apa yang dialami Chet, saya merasa kesal saja. Perlindungan terhadap konsumen di negeri ini memang masih sangat...sangat...sangat rendah. Biasanya penjual suatu produk akan sangat bermanis mulut ketika mempromosikan barang yang akan dijualnya. Termasuk jaminan pelayanan garansi dalam jangka waktu tertentu dengan kerusakan bersyarat. Begitu manisnya mulut penjual barang tersebut sehingga konsumen terbujuk untuk membeli dengan wajah puas akan perjanjian layanan prima perbaikan jika sewaktu-waktu barang yang dibelinya rusak. Tetapi biasanya...umumnya...atau apalah namanya....penjual tidak akan semanis pertama kali menawarkan produknya yang telah berhasil dijualnya kepada konsumen. Biasanya lagi....mereka akan berkelit dengan sejuta satu alasan untuk menghindar memberikan perbaikan walaupun barang tersebut masih dalam masa garansi. Contoh saja si Chet. Contoh juga kasus yang pernah terjadi pada orangtua saya yang harus menunggu hampir setengah tahun untuk mendapat kembali jam tangannya utuh setelah rusak dan diclaim ke tokok jam tersebut. Lama dan memang harus ekstra bersabar. Dan jelas itu sangat melelahkan. Membosankan juga!

Hal yang berbeda pernah saya alami ketika masih menuntut ilmu di negeri orang. Dimana hak-hak konsumen begitu dihargai. Padahal barang yang saya beli tidak mahal. Bukan berupa sebuah gadget canggih yang fenomenal seperti yang dimiliki Chet, bukan juga jam tangan otomatis tanpa baterai buatan swiss. Hanya sebuah kitchen aid hand blender berharga kurang dari 500 ribu rupiah yang saya beli di Blokker (patungan pula dengan teman-teman satu flat). Ketika membeli alat itu saya diberikan juga kartu garansi oleh Nona Belanda yang menjadi kasir saat itu. Kartu tersebut dikeluarkannya dari kotak blender, dilengkapinya data pembelian berupa tanggal pembelian, tempat, dan harga. Saya melihat garansi selama 1 tahun terhitung sejak blender itu saya beli. Tidak sampai dua bulan pemakaian, pisau blender mulai bermasalah. Bahan makanan yang dimasukkan tidak terpotong dengan sempurna. Keesokan hari, blender tersebut saya bawa kembali ke Blokker. Tanpa banyak cerita, cukup dengan menjelaskan beberapa menit, kemudian petugas blokker membuktikan kerusakan dengan melihat sendiri bagaimana kondisi blender tersebut. Tidak membutuhkan waktu yang lama, kurang dari setengah jam, petugas Blokker itu bergegas mencari blender yang baru di dalam etalase barang-barang elektronik dan seperti dulu saya membeli yang pertama, ia pun menulis seluruh informasi yang diperlukan di dalam kartu garansi. Lalu memberikan blender yang baru kepada saya. Walhasil dengan suka ria lah hari itu saya bersepeda pulang dari centrum dengan blender di dalam kantong plastik putih yang menari-nari ke kiri dan ke kanan di stang sebelah kanan.

Masalah yang kurang lebih sama muncul kembali beberapa bulan kemudian. Kali ini pisau blender itu benar-benar tak bisa berputar. Hal yang sama juga saya lakukan. Saya kembali ke Blokker dan pulang dengan blender baru lagi. Ujung-ujungnya ketika Blender yang ketiga itu kembali bermasalah, saya dan teman-teman memutuskan untuk tidak menggunakan garansinya dan kembali ke Blokker dengan alasan malu. Malu karena petugas blokker begitu baiknya dan malu sendiri bolak-balik dengan masalah yang sama. Nasib baik, beberapa hari kemudian Alfi datang dengan blender baru berwarna merah jambu yang dipinjamkannyan kepada kita.

Lain halnya dengan kasus yang pernah dialami oleh Tante Mieke di Heerlen. Pertama kali mengunjungi beliau ke ujung selatan Belanda itu, keesokan harinya saya diminta menemani beliau ke pusat penjualan elektronik untuk mengajukan claim atas home theatre yang dibelinya beberapa hari lalu, tepat sehari sebelum pusat penjualan alat elektronik yang terkenal itu memberikan diskon untuk produk yang sama dengan yang dibelinya. Awalnya saya bingung, apa yang mau diclaim? Karena semuanya terlihat aman-aman saja. Ternyata oh ternyata, si tante mengclaim potongan harga sesuai dengan harga diskon yang diberikan pusat penjualan itu terhadap barang yang sama. Mengapa bisa? Karena Tante Mieke merasa ia sedikit dicurangi, selisih waktu pembelian barang dengan berlakunya diskon sangat tipis. Itu saja. Yang mengagumkan, tanpa marah-marah, dengan komunikasi kepala dingin, petugas pusat elektronik itu memberikan kelebihan uang sesuai dengan potongan diskon yang berlaku kepada Tante Mieke. Urusan selesai tanpa perlu beradu urat leher. Coba kita bayangkan apa yang terjadi jika kasus seperti di atas terjadi di sini?

Dari beberapa kasus yang saya ceritakan di atas, saya hanya ingin memperlihatkan perbedaan perlakuan yang dialami konsumen dari dua negara yang berbeda. Walaupun mungkin tidak semua penjual seperti itu, tetapi kita tetap tidak bisa menutup mata bahwa jamak kita temui ketidaknyamanan yang diterima konsumen ketika harus berurusan dengan pengajuan perbaikan barang atau produk yang dibelinya jika mengalami kerusakan dan masih dalam jaminan garansi. Meskipun telah ada sebuah lembaga yang memayungi hak-hak konsumen, bahkan ditetapkan dengan jelas di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah kenyaman, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang atau jasa; hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya (id.wikipedia.org), tetapi praktiknya tetap tidak sejalan dengan UU dan peraturan yang telah di tetapkan. Biasanya konsumen tetap menjadi pihak yang dirugikan. Sampai saat ini pun, hal ini masih sering kita jumpai. Teramat sering malahan! Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Hanya ada satu jawaban. Lebih berhati-hati saja membeli barang!

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di