Sejauh yang ku bisa ku ingat, tidak pernah meluncur dari bibir keringnya sebuah ucapan syukur atau hamdalah. Di usia kepala empatnya dengan empat anak gadis yang harus dihidupi ditambah pula seorang suami yang pemalas, seperti menjadi sebuah alasan yang bisa dibenarkan atas mahalnya sebuah pujian pada Tuhan yang keluar dari bibir kerontangnya itu.
Di pinggir pintu gang dengan sebuah warung berukuran 2 x 1.5 meter, dilengkapi dengan beberapa barang untuk dijual, diwarung itu dilabuhkannya pengharapan receh demi receh uang dari setiap pembeli yang mampir untuk sekedar membeli rokok, permen, roti, atau segelas kopi dari tukang ojek yang mangkal tak jauh dari warung papannya. Di warung itu tak banyak senyum yang diberikannya. Mungkin di dalam penglihatannya, memang tidak ada yang harus disenyumi. Kalaupun harus membalas senyum dari sapa yang mengenainya, itu hanya sebuah kewajiban. Tak tulus sepertinya. Karena senyumnya hambar. Tak berasa. Tidak sampai ke hati.
Pernah satu kali ia entah sadar atau tidak, entah juga sedang jengkel atau marah, dikeluhkannya dengan muka masam tingkah suaminya yang tak berubah semenjak awal perkawinannya hingga si sulung mereka tamat dari sekolah kejuruan.
"Aku sudah hilang akal dengan bapaknya anak-anak. Tidak tau dengan cara apa lagi harus membuatnya berubah menjadi lebih bertanggung jawab. Berusaha lebih keras untuk penghidupanku dan anak-anak. Terkadang lelah sekali harus menanggung semuanya sendiri. Tetapi apa lagi yang bisa aku lakukan? Anak-anakku tergantung aku".
Banyak lagi keruwetan hidup yang diomelkannya. Aku hanya mendengar sambil menunggu jemputan. Memandang matanya yang kadang berair, melihat tulang pipinya yang menonjol kurus, mengamati badannya yang pasti tak lebih dari 45 kg, dan bibirnya yang pucat kering, aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam.
Ingin rasanya ku tanyakan..."Mengapa masih mau bertahan dengan laki-laki seperti suaminya?". Namun urung. Aku tak ingin membuatnya makin merasa menjadi wanita yang malang. Sudahlah!
Tetapi suatu sore, ketika keluhannya ku sampaikan kepada adikku, ku tanyakan apa yang ingin ku tanyakan.
"Apa yang membuatnya harus tetap bertahan hidup dengan laki-laki yang tak bisa memberikan perlindungan dan penghidupan yang semestinya? Mengapa harus tetap dipertahankan. Bukankah lebih baik jika ia berpisah dan hanya menanggung anak-anak serta dirinya sendiri?".
Saat itu adikku hanya tersenyum.
Jawabnya singkat saja tetapi membuatku terpana.
"Karena ia memiliki empat orang anak perempuan yang membutuhkan bapaknya untuk menikahi mereka nanti. Itu saja!".
Aku terdiam.
Demi anak-anak. Demi kebahagian buah hati.
Karena ia adalah seorang ibu yang dengan segala rela menggadaikan bahagianya demi kebahagian nyawa-nyawa yang dititipkan tuhan di dalam asuhan tangannya.
Comments
Post a Comment