Skip to main content

Tentang Upik

("Kasih Ibu" taken by Theo Widharto)

Sejauh yang ku bisa ku ingat, tidak pernah meluncur dari bibir keringnya sebuah ucapan syukur atau hamdalah. Di usia kepala empatnya dengan empat anak gadis yang harus dihidupi ditambah pula seorang suami yang pemalas, seperti menjadi sebuah alasan yang bisa dibenarkan atas mahalnya sebuah pujian pada Tuhan yang keluar dari bibir kerontangnya itu.

Di pinggir pintu gang dengan sebuah warung berukuran 2 x 1.5 meter, dilengkapi dengan beberapa barang untuk dijual, diwarung itu dilabuhkannya pengharapan receh demi receh uang dari setiap pembeli yang mampir untuk sekedar membeli rokok, permen, roti, atau segelas kopi dari tukang ojek yang mangkal tak jauh dari warung papannya. Di warung itu tak banyak senyum yang diberikannya. Mungkin di dalam penglihatannya, memang tidak ada yang harus disenyumi. Kalaupun harus membalas senyum dari sapa yang mengenainya, itu hanya sebuah kewajiban. Tak tulus sepertinya. Karena senyumnya hambar. Tak berasa. Tidak sampai ke hati.

Pernah satu kali ia entah sadar atau tidak, entah juga sedang jengkel atau marah, dikeluhkannya dengan muka masam tingkah suaminya yang tak berubah semenjak awal perkawinannya hingga si sulung mereka tamat dari sekolah kejuruan.

"Aku sudah hilang akal dengan bapaknya anak-anak. Tidak tau dengan cara apa lagi harus membuatnya berubah menjadi lebih bertanggung jawab. Berusaha lebih keras untuk penghidupanku dan anak-anak. Terkadang lelah sekali harus menanggung semuanya sendiri. Tetapi apa lagi yang bisa aku lakukan? Anak-anakku tergantung aku".

Banyak lagi keruwetan hidup yang diomelkannya. Aku hanya mendengar sambil menunggu jemputan. Memandang matanya yang kadang berair, melihat tulang pipinya yang menonjol kurus, mengamati badannya yang pasti tak lebih dari 45 kg, dan bibirnya yang pucat kering, aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam.

Ingin rasanya ku tanyakan..."Mengapa masih mau bertahan dengan laki-laki seperti suaminya?". Namun urung. Aku tak ingin membuatnya makin merasa menjadi wanita yang malang. Sudahlah!

Tetapi suatu sore, ketika keluhannya ku sampaikan kepada adikku, ku tanyakan apa yang ingin ku tanyakan.

"Apa yang membuatnya harus tetap bertahan hidup dengan laki-laki yang tak bisa memberikan perlindungan dan penghidupan yang semestinya? Mengapa harus tetap dipertahankan. Bukankah lebih baik jika ia berpisah dan hanya menanggung anak-anak serta dirinya sendiri?".

Saat itu adikku hanya tersenyum.

Jawabnya singkat saja tetapi membuatku terpana.

"Karena ia memiliki empat orang anak perempuan yang membutuhkan bapaknya untuk menikahi mereka nanti. Itu saja!".

Aku terdiam.

Demi anak-anak. Demi kebahagian buah hati.

Karena ia adalah seorang ibu yang dengan segala rela menggadaikan bahagianya demi kebahagian nyawa-nyawa yang dititipkan tuhan di dalam asuhan tangannya.

Comments

Popular posts from this blog

Dagangan Perdana

Ini sebenarnya postingan yang seharusnya diunggah 17 Januari. Unggahan tentang keberhasilannya menjalankan bakat kisprenerushipnya. "Sayang....gimana spagetinya?" "Alhamdulillah laris manis, Bun!" "Alhamdulillah...." "Trus,spageti untuk Bu Alha gimana?" "Maaf, Bun...untuk Bu Alha dibeli sama kawan Hamzah!" "Ooo...gitu...." "Iya! Bun...uang Hamzah banyak. 24 ribu. Tapi Hamzah pusing pas kawan-kawan rebutan." Bahagianya tak terkatakan. Ibunya lebih bahagia lagi. Pagi-pagi menyiapkan semua bahan untuk jualan perdananya. Anak lanang itu sendiri yang ingin mencoba berdagang. Beberapa hari kemarin bolak-balik bertanya apa kira-kira yang pas untuk dijualnya kepada teman-teman sekelasnya. Minuman atau makanan? "Jualan spageti aja gimana, Bun? Hamzah suka kesal soalnya tiap bawa spageti ke sekolah, teman-teman suka minta. Hamzah jadi dapatnya sedikit." Dari rasa kesalnya itulah ide ...

Senin, 13 Juni 2016; 22.14 WIB

Alhamdulillah sudah ditamatkannya Iqra 1 semalam di bilangan usianya yg baru 4 tahun 3 bulan 11 hari.  Sudah dengan lancar dibacanya seluruh deretan huruf Hijaiyah dengan susunan runut, acak, maupun dr belakang. Bukan hal yg istimewa utk Musa sang Qori dari Bangka Belitung mungkin, tetapi ini menjadi berkah luar biasa untuk kami. Semoga Allah selalu memudahkanmu untuk menyerap ilmu-ilmu Islam berdasarkan Quran dan teladan Rasulullah ya, Nak. Semoga ilmu-ilmu itu nanti senantiasa menjadi suluh yg menerangi setiap langkahmu dlm menjalani kehidupan ke depan dengan atau tanpa ayah bunda. Semoga juga ilmu itu tak hanya menjadikanmu kaya sendiri, tetapi membuat orang-orang disekelilingmu pun merasakan manfaatnya karena ilmu yg bermanfaat itu adalah ilmu yg bisa diberikan dan bermanfaat bagi orang lain di luar dirimu. Allah Maha Mendengar. Dengan doa dan pinta Bunda, Allah pasti akan mengabulkannya. Amin. 😍

Tentang Ibu (1)

Ada yang berubah dari Ibu.  Perubahan yang membahagiakan. Kerinduannya yang terobati pada tanah suci, Kabah, dan makam Rasulullah telah membuat Ibu kembali seperti tahun-tahun sebelum 2016.  Ibu kembali sehat. Lahir dan batin. Setelah hampir tiga minggu Ibu bersama kami, baru malam lusa kemarin saya lama bercengkerama di kamar beliau. Izzati belum mengantuk.  Jadi sengaja saya membawa cucu bungsunya itu bermain-main di tempat tidur beliau.  Sambil bermain dengan Izzati, saya bertanya tentang banyak hal mengenai kepergiannya ke tanah suci di awal 2017 kemarin. Ibu begitu bersemangat menceritakan pengalamannya.  Posisinya yang semula duduk, berganti menjadi berdiri.  Tangannya bergerak lincah memperjelas berbagai kegiatan yang dilakukannya di sana. Matanya berbinar-binar. Air mukanya berseri-seri. Tak terbayangkan skala kebahagiaan yang melingkupi hatinya ketika menjejaki Baitullah. Ibu kami memang sudah lama sekali ingin ke Kabah. Semasa almarhum Bapak...