Mimpi malam kemarin seperti nyata. Bener-bener nyata. Saking begitu terasa nyatanya, sampai-sampai menyesal terbangun dari tidur yang memutus mimpi indah tersebut.
Kami. Saya dan suami berada di dalam kamar yang saya tempati setahun lalu. Saya bisa merasakan hangatnya kamar berkerai biru tua tersebut dengan jendela besar menghadap jalan raya dan berseberangan dengan bangunan lain.
Mimpi saya ditingkahi putihnya salju yang turun di luar jendela, keemasan dalam pendaran sinar keemaasan lampu jalan yang menari ke kiri dan ke kanan dimainkan oleh angin malam yang dingin. Malam itu, di dalam mimpi saya, masih sama seperti malam-malam yang saya lewati bulan Desember hingga awal Maret setahun lalu juga. Malam di musim dingin yang tak sepenuhnya pekat. Langit berwarna hampir sama dengan warna kerai jendela saya. Biru tua.
Saya seperti pengamat. Di meja belajar saya tak ada yang berubah. Laptop putih dan tumpukan buku. Bahkan di dindingnya masih melekat dua foto hitam putih orang-orang tercinta yang menyuntikkan semangat setiap kali saya merasa sepi sendiri. Tetapi saya jauh lebih bahagia di dalam mimpi itu. Ada suami yang menduduki kursi putar belajar saya. Ia begitu sibuk dan asik mencari tiket-tiket promo murah meriah di berbagai situs perjalanan, penerbangan, dan bus-bus lintas negara di Eropa. Winter trip. Sebuah perjalanan musim dingin. Hanya kami berdua. Saya hanya mengamatinya. Berdiri tak jauh disampingnya. Saya merasa kamar putih ini menjadi lebih hangat dari setahun lalu ketika saya mengisinya sendiri. Saya begitu sumringah.
Tak lama, mimpi itu usai. Terputus. Mimpi indah saja ternyata. Setelahnya, saya pandangi wajah suami yang terlelap di samping saya. Hati saya bertanya, apakah saat ini ia tengah menikmati kelanjutan mimpi saya yang terputus tadi? Mimpi kami.
Kami. Saya dan suami berada di dalam kamar yang saya tempati setahun lalu. Saya bisa merasakan hangatnya kamar berkerai biru tua tersebut dengan jendela besar menghadap jalan raya dan berseberangan dengan bangunan lain.
Mimpi saya ditingkahi putihnya salju yang turun di luar jendela, keemasan dalam pendaran sinar keemaasan lampu jalan yang menari ke kiri dan ke kanan dimainkan oleh angin malam yang dingin. Malam itu, di dalam mimpi saya, masih sama seperti malam-malam yang saya lewati bulan Desember hingga awal Maret setahun lalu juga. Malam di musim dingin yang tak sepenuhnya pekat. Langit berwarna hampir sama dengan warna kerai jendela saya. Biru tua.
Saya seperti pengamat. Di meja belajar saya tak ada yang berubah. Laptop putih dan tumpukan buku. Bahkan di dindingnya masih melekat dua foto hitam putih orang-orang tercinta yang menyuntikkan semangat setiap kali saya merasa sepi sendiri. Tetapi saya jauh lebih bahagia di dalam mimpi itu. Ada suami yang menduduki kursi putar belajar saya. Ia begitu sibuk dan asik mencari tiket-tiket promo murah meriah di berbagai situs perjalanan, penerbangan, dan bus-bus lintas negara di Eropa. Winter trip. Sebuah perjalanan musim dingin. Hanya kami berdua. Saya hanya mengamatinya. Berdiri tak jauh disampingnya. Saya merasa kamar putih ini menjadi lebih hangat dari setahun lalu ketika saya mengisinya sendiri. Saya begitu sumringah.
Tak lama, mimpi itu usai. Terputus. Mimpi indah saja ternyata. Setelahnya, saya pandangi wajah suami yang terlelap di samping saya. Hati saya bertanya, apakah saat ini ia tengah menikmati kelanjutan mimpi saya yang terputus tadi? Mimpi kami.
Comments
Post a Comment