Bahkan satu detik ke depan pun bukan milik kita.
(Al Munafiqqun:11)
(Al Munafiqqun:11)
Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Hanya bisa terpana tak percaya waktu membaca berita di detik.com. Istri Saiful Jamil meninggal dunia. Kok bisa? Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu ditanyakan. Siapa saja bisa dipanggil-Nya kapan saja, dimana saja, dan dalam situasi apa saja. 'Kok bisa'nya saya lebih mengacu pada ingatan saya yang masih segar sekali saat melihat pasangan pengantin baru itu live hadir di salah satu acara di televisi swasta. Dan hanya tiga hari berselang kemudian, berita yang beredar justru mengagetkan. Dari seseorang yang tampak sehat walafiat tanpa kurang suatu apa dalam hitungan jam saja hanya menyisakan raga tanpa nyawa.
Hidup memang bukan milik kita. Hidup juga tak lama ternyata.
Tetapi mengapa susah sekali konsisten menyiapkan bekal untuk hidup yang bakal lamaaa nantinya. Sebuah kehidupan kedua. Saya, jujur saja, sering...teramat sering lengah, lalai, dan ogah untuk membekali diri sendiri untuk apa yang dinamakan mati. Padahal bukan untuk siapa-siapa. Untuk saya sendiri. Jika harus membuat hitung-hitungan kasar, usia sudah 31 tahun. Jika jatah hidup sampai pada usia 60 tahun saja, berarti waktu yang tersisa hanya 29 tahun lagi. Itu kalau memang sampai pada bilang tersebut. Kalau tidak? Bagaimana kalau saya hanya diberi kesempatan sampai minggu depan? Atau bulan depan? Atau dua hari lagi? Bahkan tak ada yang bisa memastikan apakah saya masih akan bertemu dengan Ramadhan tahun depan?
Mengerikan! Sementara modal sangat pas-pasan, malah bisa dibilang tak cukup. Minus.
Wajar saja Rasulullah SAW mencukupkan kematian sebagai pelajaran bagi umatnya. Karena dengan mengingat mati saja seharusnya kita sebagai manusia menyiagakan diri untuk melakukan yang terbaik untuk modal kehidupan kita berikutnya. Berbuat yang terbaik dalam segala hal, terbaik di atas koridor yang telah ditentukan-Nya. Melakukan yang terbaik untuk sebuah masa depan yang sesungguhnya.
Hidup memang bukan milik kita. Hidup juga tak lama ternyata.
Tetapi mengapa susah sekali konsisten menyiapkan bekal untuk hidup yang bakal lamaaa nantinya. Sebuah kehidupan kedua. Saya, jujur saja, sering...teramat sering lengah, lalai, dan ogah untuk membekali diri sendiri untuk apa yang dinamakan mati. Padahal bukan untuk siapa-siapa. Untuk saya sendiri. Jika harus membuat hitung-hitungan kasar, usia sudah 31 tahun. Jika jatah hidup sampai pada usia 60 tahun saja, berarti waktu yang tersisa hanya 29 tahun lagi. Itu kalau memang sampai pada bilang tersebut. Kalau tidak? Bagaimana kalau saya hanya diberi kesempatan sampai minggu depan? Atau bulan depan? Atau dua hari lagi? Bahkan tak ada yang bisa memastikan apakah saya masih akan bertemu dengan Ramadhan tahun depan?
Mengerikan! Sementara modal sangat pas-pasan, malah bisa dibilang tak cukup. Minus.
Wajar saja Rasulullah SAW mencukupkan kematian sebagai pelajaran bagi umatnya. Karena dengan mengingat mati saja seharusnya kita sebagai manusia menyiagakan diri untuk melakukan yang terbaik untuk modal kehidupan kita berikutnya. Berbuat yang terbaik dalam segala hal, terbaik di atas koridor yang telah ditentukan-Nya. Melakukan yang terbaik untuk sebuah masa depan yang sesungguhnya.
Comments
Post a Comment