Skip to main content

Saat Cinta Berpaling Darimu

Penat juga berpikir. Beralih ke blog-blog yang enak dibaca. Yang tidak berat! Alhamdulillah tertumbuk mata pada blognya A. Nabilah Zahra @riezisme.wordpress.com. Baca...baca...baca....sampailah pada yang satu ini. Jadi ingat dulu pengen beli kompilasi cerita nyata yang dikemas apik di dalam buku asma nadia ini di awal bulan Mei. Tetapi nihil. Habis stock di Gramedia. Dan sampai sekarang masih belum dapat kesempatan untuk mencarinya kembali. Next time kali ya. :)

Apa yang spesial dari buku ini? Kisahnya tentu saja! Kisah sedih? Yaa...bisa dibilang begitu. Kisah sedih para istri yang tersakiti oleh ketidakmampuan suami mereka untuk menjaga hati dalam kadar dan tingkat dari yang paling ringan sampai yang paling parah.

Yuk simak.....!

(Pengalaman sejati seorang istri, dari Asma Nadia)

Apakah dia merasa putus asa ketika mengetahui bahwa gaji suaminya yang masih kuliah itu hanya 200 ribu sebulan?
Apakah dia putus asa ketika mereka harus berpindah-pindah kontrakan dari satu rumah mungil ke rumah mungil yang lain?
Apakah perempuan itu mengeluh, ketika berbulan-bulan hanya makan tempe dan sayur, yang masing-masing dibeli
seribu rupiah di warung, ketika sang suami tak bekerja cukup lama?

Jawabannya tidak.
Perempuan berwajah manis, yang saya kenal itu sebaliknya selalu terlihat cerah, seolah permasalahan ekonomi yang menerpa keluarga kecil mereka, tak berarti apa-apa.

Pun ketika kesulitan hidup terus berlanjut. Menjelang kelahiran anak pertama mereka, suami masih belum
memiliki pekerjaan yang mapan. Tapi perempuan itu tidak putus asa. Sedikitpun dia tak menyesali telah menikah dengan lelaki pilihannya. Lelaki yang dia cintai karena kecerdasan dan kegigihannya. Lelaki yang amat dia hormati, yang dia tahu selalu berupaya sungguh-sungguh untuk membahagiakan, dan membuatnya merasa seperti seorang putri.

Dan kenyataan bahwa mereka tinggal di rumah kontrakan yang nyaris mau runtuh, dengan kamar mandi jelek, dan
serangga di mana-mana yang kerap membuat menimbulkan ruam merah pada kulitnya yang putih. Perempuan itu
tidak pernah sedikitpun mengeluh.

Lalu anak pertama lahir. Gagah, dengan alis tebal nyaris bertaut. Dia dan suami menerima kehadiran pangeran kecil itu dengan hati berbunga. Meski mereka harus berhutang ke sana ke mari agar biaya kelahiran yang melalui prosedur caesar itu, bisa dilunasi. Sekali lagi, perempuan itu tidak pernah mengeluh.

Hidup baginya adalah rentetan ucapan syukur kepada yang kuasa, dari waktu ke waktu. Ketika anak kedua mereka lahir, roda ekonomi keluarga telah jauh lebih baik. Laki-laki yang dicintainya mendapatkan pekerjaan yang mapan. Mereka tak lagi bingung memikirkan kebutuhan sehari-hari, makan, lalu susu buat anak-anak.

Perempuan yang saya kenal sejak lama itu, membantu suaminya dengan bekerja paruh waktu bagi sebuah taman
bermain anak-anak yang cukup prestise. Seiring kehidupan yang mulai membaik, perempuan itu tak lagi
mengerjakan semua sendiri. Apalagi seorang buah hati lagi telah hadir. Sang suami memintanya lebih konsen kepada pekerjaan paruh waktu yang digeluti istrinya. Tahun ke empat pernikahan mereka mulai menyewa baby sitter, ketika itu si bungsu belum lagi berusia sepuluh bulan.

Lalu datanglah kesempatan bagi sang istri. Lembaga tempat dia bekerja paruh waktu, menawarkan program
training ke luar negeri. Awalnya sang istri ragu, sebab dia khawatir meninggalkan anak-anak selama dua pekan. Tetapi lelaki yang dicintainya memberikan support dan mendorongnya untuk pergi,

“Ini pengalaman bagus buat Ibu,” kata lelaki itu.

Dan ketika dia ingin membantah, lelaki itu menggelengkan kepalanya,
“Perempuan lain ingin mendapatkan pengalaman berharga seperti ini. Ibu harus pergi. Gak apa. Ada mbak yang menjaga anak-anak.”

Dengan setengah hati perempuan berwajah manis itu meninggalkan keluarganya. Selama dua pekan di sana dilaluinya dengan rindu yang menyiksa, dan perasaan berat karena selalu terbayang anak-anak. Naluri keibuannya rupanya tidak bisa dibohongi. Meskipun sang suami selalu berkata semua baik-baik saja, perempuan itu merasakan ada sesuatu yang terjadi. Dan perasaannya benar.

Anak bungsu mereka dirawat di rumah sakit karena demam berdarah! Suaminya yang takut membuatnya panik baru
menjelaskan ketika istrinya pulang ke tanah air.

“Maafkan ayah, ayah takut ibu bingung.”

Perempuan itu menangis. Syukurlah kondisi putri mereka membaik Tapi ada hal lain yang terjadi. Hal yang tak
pernah diduganya, hal yang membuat jantungnya luruh. Suaminya jatuh cinta.

Perempuan itu sungguh tak percaya, ketika mendengarkan ibu mertuanya menangis tersedu-sedu menjelaskan apa
yang terjadi. Dunia bahagia yang selama ini dibangunnya seakan runtuh. Apalagi ketika mengetahu gadis cantik yang membuat suaminya jatuh hati, adalah baby sitter yang mereka sewa.

“Kami hanya berpegangan tangan, Tak lebih”, elak suaminya.

Tapi hati perempuan itu telanjur hancur. Harapan-harapan yang dibangunnya seakan menguap. Suaminya berpaling. Lelaki yang telah membuatnya merasa seperti seorang putri, jatuh cinta lagi.
Allah… apa maksudmu dengan ini semua? Batin sang istri yang terkoyak. Dengan hati hempas, dia memanggil baby
sitter mereka. Baru kali ini si perempuan memandang lekat-lekat gadis berusia sembilan belas tahun itu.

“Sudah sejauh apa?’ Baby sitter itu mengelak. Tak mau berbicara lebih jauh.
“Apakah kamu menyukai Bapak?” Baby sitter itu diam. Ragu. Lalu kepalanya pelan menggeleng.
“Saya tak keberatan jika bapak menyukaimu, dan kamu menyukai bapak, Kalian bisa menikah!”
Saya kaget. Saya berada di sana, menemani perempuan yang telah lama menjadi sahabat saya. Tetap saja
kalimat terakhirnya mengejutkan saya.

Si baby sitter cantik menggeleng. Lagi-lagi salah tingkah. Saat itu suami si perempuan sedang berada di kantor, sehingga mereka leluasa berbicara. Tidak jauh dari mereka, mertua sahabat saya tampak menangis sesenggukan. Sebaliknya wajah sahabat saya tampak sangat tegar.

Ketegaran itu baru runtuh ketika kami hanya berdua. Sahabat saya menangis. Belum pernah saya melihat air
mata sebanyak itu tumpah di wajahnya.

“Saya sedih,” bisiknya.
“Salahkah?”, Saya menggeleng. Kesedihan adalah teman kemanusiaan. Tak apa.
“Ibu tadi cerita, bahkan ketika Andin sakit, Ayahnya memilih menemani perempuan itu berobat, meski hanya
flu biasa, dan meninggalkan Andin diperiksa hanya dengan ibu,”

Ah, lelaki begitu mudahkah larut dalam pesona?
Saya kehilangan kata-kata. Percuma mengibur, apalagi berkata saya mengerti perasaannya. Saya tak ingin berbasa basi yang tidak perlu.

Kehidupan berlanjut. Suami perempuan itu mengakui kesalahannya, dan berjanji tidak akan mengulangi.
Lelaki itu memohon-mohon agar sang istri mau memaafkannya.

“Bisakah?” tanya saya suatu hari. Ketika itu tahun-tahun sudah berlalu begitu banyak.
“Saya tidak tahu,” jawab sahabat saya. Selalu dan selalu, matanya yang cerah meredup setiap teringat kisah itu. Barangkali memang ada beberapa luka yang tak bisa sembuh, bahkan oleh waktu.

Enam bulan setelah kejadian itu, sahabat saya memang sempat bercerita perasaannya setiap kali suaminya
mendekati,
“Saya merasa jijik,” ujarnya dengan wajah bersalah.
“Tak apa, semua perlu waktu. Lagian yang terjadi tidak sejauh itu. Jangan menyiksa pikiran,”
“Tapi siapa yang tahu apa yang sebenarnya terjadi?”
Saya diam. Sahabat saya benar. Hanya suaminya dan si baby sitter yang tahu segala. Mereka terkadang pergi
ke luar rumah berdua. Dulu terasa biasa saja mereka hanya ke warung, atau apotik. Entahlah.

Ketika saya meminta izin menuliskan cerita ini, sahabat saya mengiyakan, meski dia masih belum lagi
sembuh dari kesedihan. Memang tidak ada perceraian. Sang suami tampak bersungguh-sungguh menjaga keutuhan
keluarga mereka. Apalagi ada anak-anak diantara keduanya.

“Dia bapak yang baik!” papar sahabat saya suatu hari.
Kehidupan memang terus berjalan. Satu peristiwa, satu hati yang berdarah. Satu hati yang belum juga sembuh.
“Kami masih tidak bisa bersama,” jelasnya.
Saya mengerti. Peristiwa itu seolah membekukan semua kehangatan dan keceriaannya sebagai seorang istri.
Sang suami tak memaksa. Menjalani saja kehidupan apa adanya. Anak-anak lebih penting.

Entah sampai kapan mereka bisa bertahan, saya tidak tahu. Tak juga mau menduga-duga. Saya cukup senang akhirnya sahabat saya bisa mendapatkan kepercayaan diri yang sempat hancur ketika menyadari sosok perempuan yang telah merebut hati suaminya. Perlahan sahabat saya mencoba melupakan apa yang terjadi. Padahal dunia sempat terasa berhenti baginya.

“Sampai saya sadar, Asma. Di luar sana, banyak pengalaman yang jauh lebih buruk, menimpa istri-istri
lain. Apa yang terjadi pada saya, barangkali tak seujung kuku yang dialami perempuan-perempuan lain.”

Hubungan normal layaknya suami istri memang sudah patah, akan sulit merekatkannya kembali. Tapi saya mengagumi semangatnya mempertahankan pernikahan, dan tetap menjalaninya penuh syukur. Perempuan itu bahkan pasrah jika karena ketidakmampuannya sekarang, dikarenakan ulah sang suami, mungkin justru
mengakibatkan sang suami menikah di belakangnya.

“Dulu hal itu perkara besar buat saya, tapi sekarang”, sahabat saya itu tertawa.
Sebenarnya banyak yang ingin saya tanyakan padanya.
Apakah dia bahagia? Apakah suaminya bahagia? Kenapa
tidak bercerai dan sama-sama memulai yang baru?
Sebagian orang mungkin akan berpikir begitu. Hidup terlalu singkat untuk larut dalam ketidakbahagiaan.

Betapapun saya menghormati komitmen keduanya. Juga perkataan sahabat saya, yang akan selalu saya ingat,
“Ada hati-hati kecil yang harus dijaga, Asma. Setiap mengingat mereka, maka luka-luka lain menjadi kalah penting. Kebahagiaan saya sempat runtuh, tapi kebahagiaan ketiga anak saya tidak. Dan saya harus bisa menjaganya. Sekuat saya.”



Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di