Malang nasib bocah ini.
Kemarin-kemarin saya tidak begitu memperhatikannya. Seperti kebanyakan bocah-bocah lainnya, ia sangat menikmati dunia anak-anaknya. Menunggu sang nenek usai merampungkan pekerjaannya sambil berlari-lari kecil di halaman. Kemarin-kemarin itu juga, saya hanya sesekali melihatnya dari balik jendela berkaca hitam. Anak laki-laki yang lincah!
Tetapi hari ini atau besok, saya tentu tak bisa hanya sekedar melihat atau sekilas menatapnya sambil lalu. Saya pasti akan lama memperhatikannya dengan diam-diam dan disaat bersamaan rasa iba saya padanya kemungkinan besar akan membuat saya mengutuki apa yang telah dilakukan ayahnya kepadanya. Apa yang lebih buruk dari seorang laki-laki dewasa yang tak bertanggung jawab atas sebuah nyawa yang telah diciptakannya dari rahim seorang wanita yatim piatu yang menggadaikan nyawanya demi anak yang laki-laki itu, yang dinikahinya tanpa sepengetahuan istri sahnya hingga detik ini?
Beruntungnya, bocah itu laki-laki. Kelak jika ia dewasa dan ingin menikah, ia tak memerlukan wali untuk dirinya. Buntungnya, bocah itu tak pernah melihat rupa ayahnya dan mendengar seperti apa suara laki-laki yang membuatnya ada tersebut. Ketika ibunya melepaskan nyawanya disaat ia lahir, ayahnya sama sekali tak hendak mengasuhnya atau secara gentle bertanggung jawab atas dirinya. Sepertinya ayahnya juga tak hendak merusak rumah tangganya dengan istri sahnya. Lalu si nenek yang notabene seorang perempuan yang juga telah melahirkan ayahnya, tetaplah perempuan. Beliau tak pernah bisa membiarkan darah dagingnya begitu saja. Bocah itu dirawatnya dengan cinta bersama anak perempuannya yang masih gadis. Setengah mati beliau mencari uang untuk menghidupi sang cucu yang malang tersebut dengan bekerja serabutan. Lalu si ayah anak malang itu? Ia tinggal berjarak 6 jam dari tempat anaknya tinggal. Malanglah kau, Nak. Tak sepersen pun uang yang dikirimnya untuk anaknya yang malang itu. Tak sepeser pun!
Ketika melihat rupa anak itu, saya membayangkan apa yang ada dikepala ayahnya. Tidakkah ia dibayang-bayangi tanggung jawabnya? Nyamankah hidupnya? Dilain waktu saya juga merasa kasihan dengan istri sah ayah anak tersebut. Wanita yang dibohonginya hingga detik ini. Kali lain, sambil melihat bocah itu berlari-lari, saya nanar menatap punggung si nenek yang sedang menyetrika tumpukan pakaian...saya berpikir tentunya usia perempuan renta itu tak kan lama. Lalu jika ia dipanggil Tuhan nanti, bagaimana dengan cucunya ini? Besoknya, jika saya melihat si bocah datang menjemput neneknya bersama dengan tantenya yang masih gadis itu, saya bergumam di dalam hati. Jika nanti si tante menikah, ikhlas kah suaminya menerima anak laki-laki malang ini? Karena selama ini, anak laki-laki itu hanya tahu bahwa tantenya itulah ibunya.
Malangnya kau, Nak!
Kemarin-kemarin saya tidak begitu memperhatikannya. Seperti kebanyakan bocah-bocah lainnya, ia sangat menikmati dunia anak-anaknya. Menunggu sang nenek usai merampungkan pekerjaannya sambil berlari-lari kecil di halaman. Kemarin-kemarin itu juga, saya hanya sesekali melihatnya dari balik jendela berkaca hitam. Anak laki-laki yang lincah!
Tetapi hari ini atau besok, saya tentu tak bisa hanya sekedar melihat atau sekilas menatapnya sambil lalu. Saya pasti akan lama memperhatikannya dengan diam-diam dan disaat bersamaan rasa iba saya padanya kemungkinan besar akan membuat saya mengutuki apa yang telah dilakukan ayahnya kepadanya. Apa yang lebih buruk dari seorang laki-laki dewasa yang tak bertanggung jawab atas sebuah nyawa yang telah diciptakannya dari rahim seorang wanita yatim piatu yang menggadaikan nyawanya demi anak yang laki-laki itu, yang dinikahinya tanpa sepengetahuan istri sahnya hingga detik ini?
Beruntungnya, bocah itu laki-laki. Kelak jika ia dewasa dan ingin menikah, ia tak memerlukan wali untuk dirinya. Buntungnya, bocah itu tak pernah melihat rupa ayahnya dan mendengar seperti apa suara laki-laki yang membuatnya ada tersebut. Ketika ibunya melepaskan nyawanya disaat ia lahir, ayahnya sama sekali tak hendak mengasuhnya atau secara gentle bertanggung jawab atas dirinya. Sepertinya ayahnya juga tak hendak merusak rumah tangganya dengan istri sahnya. Lalu si nenek yang notabene seorang perempuan yang juga telah melahirkan ayahnya, tetaplah perempuan. Beliau tak pernah bisa membiarkan darah dagingnya begitu saja. Bocah itu dirawatnya dengan cinta bersama anak perempuannya yang masih gadis. Setengah mati beliau mencari uang untuk menghidupi sang cucu yang malang tersebut dengan bekerja serabutan. Lalu si ayah anak malang itu? Ia tinggal berjarak 6 jam dari tempat anaknya tinggal. Malanglah kau, Nak. Tak sepersen pun uang yang dikirimnya untuk anaknya yang malang itu. Tak sepeser pun!
Ketika melihat rupa anak itu, saya membayangkan apa yang ada dikepala ayahnya. Tidakkah ia dibayang-bayangi tanggung jawabnya? Nyamankah hidupnya? Dilain waktu saya juga merasa kasihan dengan istri sah ayah anak tersebut. Wanita yang dibohonginya hingga detik ini. Kali lain, sambil melihat bocah itu berlari-lari, saya nanar menatap punggung si nenek yang sedang menyetrika tumpukan pakaian...saya berpikir tentunya usia perempuan renta itu tak kan lama. Lalu jika ia dipanggil Tuhan nanti, bagaimana dengan cucunya ini? Besoknya, jika saya melihat si bocah datang menjemput neneknya bersama dengan tantenya yang masih gadis itu, saya bergumam di dalam hati. Jika nanti si tante menikah, ikhlas kah suaminya menerima anak laki-laki malang ini? Karena selama ini, anak laki-laki itu hanya tahu bahwa tantenya itulah ibunya.
Malangnya kau, Nak!
Comments
Post a Comment