Skip to main content

Hello Deadline....

Secangkir cappuccino pasti indah untuk diseruput disaat kantuk melanda sepagi ini tetapi mata tak hendak terpejam, selain juga deadline yang melambai-lambai memanggil. Tetapi apa daya cappuccino dan sebangsanya haram disentuh saat ini. Paling tidak untuk satu bulan ke depan. Semalam pun entah apa penyebabnya, sepicing pun susaaaaah kali dinikmati. Apa memang sebegitu dahsyatnya perubahan hormon bekerja? Hingga kantuk dan mata yang biasanya berteman akrab bisa jadi bermusuhan. :)

Baiknya mungkin balik lagi ke buku dan beberapa literatur ya. Menyudahi data mentah ini. Ayo semangat, bu..! Teh hangat dan isi perut dulu mungkin ada baiknya. Bekerja di rumah juga banyak manfaatnya kan? Lebih berkonsentrasi, bebas gangguan suara-suara berisik sejawat (resiko bekerja tanpa cubicle), dan kalo penat bisa leyeh-leyeh sejenak dua jenak.

Berharap besok insyaallah tiga teman lain rampung juga. Lalu bisa lanjut diskusi dan edit lagi, lalu matang.....dan serah terima deeeh. Trus...? Trus dana tahap dua bisa turun! Ayo semangat! Tetapi tetap ga asal! Yuk mareee kerja...!

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di