Skip to main content

Do the Right Thing at the Right Time

Sambil memasak untuk makan siang, saya berbagi konsentrasi untuk mendengar wawancara Mahfud MD di kediamannya, Jakarta. Kali ini topik wawancara bukan tentang pemalsuan SK Pemilu atau tentang hal-hal politik yang semrawut dan makin tidak jelas itu, melainkan wawancara singkat yang menyoroti keseharian Pak Mahfud MD sebagai seorang biasa diluar jam kantor dan rutinitas profesionalnya.

Menarik! Banyak hal yang bisa dipetik dari wawancara singkat bersama beliau.
Pertama, Ketua MK itu sangat menikmati hidupnya. Hidupnya sebagai ketua MK yang jelas terlihat saat ini sedang ‘riuh’ oleh berbagai masalah, sebagai dosen yang seringkali harus terbang ke Unila, Undip, dan UGM di akhir pekan, sebagai suami, dan bapak dari tiga orang anaknya. Sepertinya biasa saja ya? Kalaupun ada yang luar bisa, orang akan berpikir itu berkaitan dengan kasus yang sedang hueboh saat ini, yang bersikutan dengan Mafia Pemilu. Tetapi bukan itu. Saya suka dengan cara Pak Mahfud menikmati hidupnya dengan cara yang wajar dan menempatkan berbagai puzzle kehidupannya pas di tempatnya dan sesuai porsinya masing-masing. Kalau bisa memelintir pepatah Inggris, kira-kira seperti ‘Do the right thing at the right time’.



Pak Mahfud mengatakan bahwa beliau suka mengisi waktu luangnya dengan bernyanyi bersama istrinya. Pengakuannya sih suaranya tidak bagus-bagus amat, hobi satu ini lebih kepada keisengan semata, menghabiskan waktu luang bersama istri. Semacam romantisme sederhana. Berkaraoke berdua , rebutan memilih lagu, dan sama-sama tertawa sebagai bentuk komentar unik usai satu lagu habis dinyanyikan. Pilihan lagunya beragam. Tidak mengkhususkan pada satu jenis lagu saja. Jamaknya lagu yang dipilih adalah tembang-tembang lawas Erni Djohan, Rafika Duri, jazz dan beberapa jenis lainnya.

Kali lain, beliau juga sering menonton ke bioskop bersama istri dan anak-anaknya. Bukan hanya ke bioskop, beliau juga suka menyimak suguhan teater, termasuk monolog karibnya, Butet Kertarajasa. Bahkan beberapa waktu lalu, beliau tak menolak untuk ikut serta di dalam pertunjukan teater yang disutradarai oleh karibnya tersebut.
Selain dua hal diatas, kebanyakan waktu luangnya juga dinikmatinya dengan membaca. Yang menarik adalah ketertarikannya untuk membaca hampir semua jenis bacaan. Beliau tidak membuat batasan-batasan pada buku-buku dengan tema tertentu saja. Jika biasanya sebagian besar orang banyak yang hanya berminat pada beberapa jenis bacaan saja, namun tidak untuk jenis yang lain. Tetapi Pak Mahfud suka membaca beragam buku.. Bisa tentang politik, hukum, biografi tokoh-tokoh dalam dan luar negeri, agama, science-fiction, novel popular Indonesia seperti Tetralogi Laskar Pelangi, bahkan Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburahman El Siradzi. Mendengar pengakuannya tentang jenis bacaan terakhir ini, pikiran saya langsung melompat ke seorang sastrawangi yang pernah secara tidak sengaja saya dengar komentarnya yang mendiskreditkan Ayat-Ayat Cinta berikut filmya. Lalu saya tersenyum sendiri sambil mengangkat ikan nila yang telah matang dari penggorengan. Saya hanya berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh si komentator itu tentang AAC terbantahkan oleh kesukaan Pak Mahfud tentang novel ini. Jelas ada nilai-nilai positif di dalamnya.

Itu tadi beberapa hal yang dominan dilakukan Pak Mahfud di senggang waktunya.
Beranjak pada poin ke dua yang bisa dipetik dari wawancara tersebut adalah bagaimana professor ini gila kerja dalam artian yang sehat dan patut ditiru. Katanya “Saya akan sangat serius bekerja pada waktu kerja. Bukan apa-apa, saya hanya tidak ingin ketika saya harus pulang ke rumah, saya masih harus terbebani dengan pekerjaan saya di kantor. Jadi sebisanya saya sudah harus menyelesaikan semua pekerjaan hari itu sebelum saya pulang. Jadi ketika saya sampai di rumah, saya bisa menikmati waktu saya bersama keluarga, tidur nyenyak, dan tidak membawa urusan kantor ke rumah. Selain itu, mengapa saya betul-betul ingin menyelesaikan pekerjaan saya dengan sebaik-baiknya dan berusaha tidak membuat kesalahan? Karena saya tidak ingin ketika saya pensiun nanti, saya masih harus direpotkan dengan kesalahan-kesalahan kerja yang saya lakukan sebelum saya pensiun.”

Ucapannya diatas menurut saya menarik. Karena di jaman sibuk seperti ini, jujur saja….nyaris sangat susaaahhh bagi siapa saja, baik suami atau istri yang bekerja untuk dapat mengalokasikan waktu mereka dengan baik dan benar. Ujung-ujungnya, kita bersembunyi pada slogan…’Yang penting kualitas, bukan kuantitas’ untuk sebuah kebersamaan yang bermakna. Padahal menurut saya pribadi, kuantitas juga penting untuk lebih mendalami dan mengetahui apa yang terjadi pada orang-orang yang kita cintai. Walaubagaimanapun canggihnya alat komunikasi yang ada ditelapak tangan dan di depan mata kita, tetap saja kita tidak bisa melihat sorot mata, ekspresi wajah, dan gundah gulana orang-orang yang berarti di dalam keluarga kita hanya dengan mendengar suara mereka. Bahkan mustahil menjangkau tubuh mereka untuk memberikan sebuah pelukan hangat disaat mereka berkata bahwa mereka butuh itu saat mereka menelfon atau ditelfon. Pun, kualitas juga tidak dengan serta merta hadir ketika frekuensi bertemu tinggi. Tiap malam bertemu si buah hati, namun sehabis makan malam si ibu dan ayah sibuk dengan laptop masing-masing, dan si buah hati sewajarnya ingin mendengar kehangatan suara ayah ibunya atas setiap pertanyaan anak kecil yang diberikannya, alih-alih jawaban…si anak malah mendapatkan kemarahan kecil dan keluhan yang membuatnya menjadi kecil hati karena telah mengganggu kesibukan ayah ibunya di rumah, bukan di kantor. Padahal waktu itu adalah waktunya! Haknya! Hampir dua belas jam terpisahkan oleh rutinitas kantor dan sekolah.

Hmmm….saya jadi berterima kasih pada Pak Mahfud yang memberikan pencerahan di tengah kesibukan saya menyiapkan makan siang untuk orang-orang tercinta saya. Karena berkat ucapannya diatas, saya berniat menata ulang kembali waktu saya sebaik mungkin. Karena saya tidak ingin suami saya dan Rio merasa mereka tidak mendapatkan haknya dari saya yang notabene adalah istri dan bundanya. Begitu pun sebaliknya, saya juga ingin suami saya melakukan hal yang sama. Tetapi tetap maksimal di tempat kerja. Bagaimana dengan Anda?

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di