Skip to main content

B A P A K

"If they ever tell my story, let them say I walked with giants. Men rise and fall like the winter wheat, but these names will never die. Let them say I lived in the time of Hector, tamer of horses. Let them say I lived in the time of Achilles." (Odysseus)

BAPAKKU bukan Achilles yang nyaris tak terkalahkan. Yang dengan gemilang menyungkurkan pangeran Hector demi membela kehormatan kerajaan Troya, hanya gara-gara Paris, adik terkasihnya, mencuri Helen dari Sparta. Tapi serupa dengan serdadu terpilih dari negeri para dewa, yang dikisahkan Homer dalam Illiad, bapakku adalah petarung yang siap menggadaikan apa saja yang dimilikinya, termasuk nyawa, demi apapun yang diyakininya.

Jangan tanyakan penderitaan macam dan seperti apa yang belum beliau tanggungkan. Sebagaimana Raja Priam dari Troya yang pecah hatinya mengetahui Hector, putra terkasih dan penerus tahta binasa di tangan Achilles, bapakku pun pernah dua kali hancur hatinya menyaksikan dua buah hatinya wafat, setelah bertarung dengan dengan el maut.

Adakah hati yang lebih perih selain perasaan seorang bapa ditinggalkan buah hatinya?

Tapi, sebagaimana kisah klasik tentang orang-orang yang berhasil melawan dirinya sendiri. Bapakku berhasil bangkit lagi menghadapi hidup, untuk kemudian hancur kembali hatinya, ketika istri terkasihnya harus mangkat ke alam baka, setelah ditelikung kanker rahim. Dengan meninggalkan tiga bocah, dua balita, dan seorang bayi pada 1978. Itu belum semua, karena sengkarut urusan keluga besar, bapakku terusir dari rumah almarhum ibu, bersama keenam mutiaranya. Bahkan ketika kuburan istri terkasihnya masih basah.

Aku tidak tahu persis sebab pengusiran yang diwarnai penghinaan itu. Nanti akan aku ceritakan muasalnya.

Yang pasti, dari situlah, drama bapak dalam mengasuh, membesarkan, mewarnai, memaknai sekaligus menjaga kehidupan enam mutiaranya dengan segala keberaniannya bermula. Dan penderitaan, pada titik itu juga, seperti karib yang senantiasa rajin bertandang di rumah nasib bapak. Dia, sang penderitaan itu, bisa datang dalam bentuk apa saja, dan kapan saja.

Sebutkan berbagai macam nama cobaan yang pernah dialami anak manusia dalam menjalani garis takdirnya. Atau nukilkan berbagai kisah tragedi yang sohor diceritakan raja dongeng seperti Homer, Shakespeare dan banyak nama sohor lainnya dari Rusia seperti Leo Tolstoy dan sebangsanya yang belum pernah dicobakan kepada bapak.

Atau jika kurang, tarungkan bapak dengan kondisi kehidupan yang paling muskil sekalipun, maka atas nama jaminan segala keberaniannya, akan dilawannya semua kondisi yang berjabatan erat dengan segala bentuk penderitaan itu. Aku jamin bapakku akan menjadi pemenangnya.

Pertarungan akan menjadi lebih heroik jika bapak dihadapkan pada kasus membela anak-anaknya. Maka, layaknya induk singa melindungi anak-anaknya, dilabraklah apapun dan semua yang ada di depannya. Tanpa terkecuali. Tembok kekuasaanpun akan dilawannya. Meski nyawa -sekali lagi- bayarannya.

Jika nyawa sudah dipertaruhkan di meja nasib, jangan tanyakan persoalan jabatan, harta benda, dan ihwal remeh temeh keduniawian lainnya. Semua menjadi nomor sekian. Dan tak penting lagi. Nothing else matter.

Seorang diri. Hanya seorang diri, bapak, sarjana lulusan perdana fakultas ilmu sosial dan kemasyarakatan, salah sebuah universitas negeri ternama di Jateng,- yang harus diundur wisudanya hanya lantaran Gestapu meletus pada tahun 65-, membesarkan kami semua.

Sesekali eyang putri, ibu dari pihak bapak mengulurkan pikiran dan tangan untuk mengawasi kami semua, karena bapak harus mengibarkan layar nafkah hingga ke luar kota. Bayangkanlah keadaan seekor induk singa yang terluka karena dihinakan keluarga besar dari pihak almarhum istrinya, dengan sejumlah kata melecehkan seperti, "Apa mampu membelikan susu (buat jabang bayinya)", dua jenak setelah sigaring nyawanya mangkat ke alam nirwana.

Dan yang melecehkan adalah ibu mertuanya sendiri -ibu dari pihak almarhum ibu-, dan dilakukan di depan ibu kandungnya, atau eyang putri kami.

Demikianlah bapak yang terluka, meradang, dan timpang emosinya mencoba membesarkan kami semua; anak-anaknya. Dengan segala kekurangkomplitannya sebagai orang tua tunggal, serta dendam yang terus berkesumat sebagai bara, bapak sekaligus merangkap peran sebagai ibu bagi kami semua; enam permata yang laki-laki semua.

Kadang dan seringkali, beliau malihrupa menjadi kawan sepermainan yang paling menyenangkan bagi kami. Layaknya malaikat yang menyaru jadi manusia. Tapi pada waktu yang berbeda, beliau juga sangat bisa menjadi penghukum yang tak tertawarkan karena otoritas mutlaknya. Sebab kami abai, lalai bahkan di luar kesadaran, memunggungi prinsip hidupnya, yang zakelijk itu.

Seperti norma-norma yang muda menghormati yang tua, dan yang tua melindungi yang muda. Dan berbagai norma budi pekerti standar lainnya.

Dalam kekerasan hatinya itulah, diam-diam kami tumbuh sebagai kanak-kanak yang tidak biasa, dan tidak mudah menyerah. Cenderung berani berkelahi dengan situasi yang tidak mudah. Saya katakan cenderung karena, tidak semua saudara-saudara saya gemar bertubrukan secara fisik.

Meski tentu saja secara esensi tetap berani berkelahi dengan nasibnya masing-masing. Dan secara tekad, saya meyakini, semua anak-anak bapak bermental kuat, sekaligus liat.

Ihwal intelektualitas...kami bukan segerombolan domba yang dungu dan hanya manut pada keadaan. Meski tentu saja tidak mudah berada pada posisi ideal seperti itu. Tapi dari bapaklah kami banyak belajar menimba kekuatan, ketabahan, keberanian, kejujuran, kemurahhatian, ketekunan, kesolehan, sekaligus berani menanggungkan kelaraan yang bisa datang kapan saja dalam rupa suka-suka, semaunya. Pelajaran tentang kepapaan juga tak ketinggalan diberikan. Maka jangan heran jika kami semua tidak ada yang gentar dengan ancaman laten kemiskinan.

Intinya, dari bapak kami ngaji urip. Dari bapak, kami sinau kedalaman.

Bapak, bagi kami anak-anaknya adalah sumur ilmu pengetahuan, yang menyimpan bergalon-galon air kecendekiaan yang tak terpermaknai. Dari sumur ilmu pengetahuan itulah, kami diberi sangu untuk menghadapi, mewarnai, memaknai juga merayakan hidup. Jadi bukan harta juga benda yang bapak wariskan, melainkan ilmu dan pengetahuan, juga iman yang sepadan. Di luar soal keberanian itu.

Bahwa bapak tidak atau jauh dari sempurna, itu benar adanya. Tapi, dari ketidaksempurnaannya itulah, bapak menjelma sempurna sebagai manusia yang berkekurangan.

Bahwa bapak mempunyai musuh dalam hidupnya, itu juga fakta yang tak terbantahkan kebenarannya. Kami juga sangat mafhum, musuh terbesar dan nomor wahid bapak adalah dirinya sendiri; kekerasan hatinya. Tapi dari kekerasan hatinya pula, kami anak-anaknya selamat semua -paling tidak hingga hari ini, hingga aku larikkan tulisan ini-, dan terhantarkan pada kunci nasib masa depannya masing-masing.

Meski kami juga tahu, diam-diam masih ada, dan banyak sisi lembut bapak.

Yang sebagaimana lelaki sejati, sebagaimana tabiat kebanyakan para ksatria galibnya, emoh atau tidak sudi mengumbar apalagi mempertontonkannya secara langsung di depan mata anak-anaknya, apalagi publik. Aku baru tahu maksud dibalik sikap bapak yang gemar menyembunyikan rasa sayang kepada anak-anaknya setelah besar nanti.

Supaya kami tidak menjelma pribadi yang cengeng, juga lemah ketika bersemuka secara langsung dengan kerasnya nasib yang tak tertawarkan. Sebagaimana nasib juga yang meminta bapak pulang, karena telah dinilai paripurna mengantarkan kami semua, ke rumah nasibnya masing-masing.

Selamat jalan bapak.
(Benny Benke, Mei setelah bapak pergi, tapi tak pernah mati)

http://oase.kompas.com/read/2011/07/27/10503651/B.a.p.a.k

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di