Skip to main content

Ik Mis Jou, Auntie.

Aku lebih suka memanggilnya Tante Ninik ketimbang Tante Mieke. Lebih Indonesia saja.

Wanita enerjik berparas setengah peranakan, sepupu papa, yang begitu beruntung ku miliki dan ku sambangi di saat jenuh melanda ketika jauh dari keluarga.

Komunikasi pertama kami terjadi pada beberapa minggu terakhir sebelum keberangkatanku ke negeri kincir angin. Papa memberikan nomor telfon beliau. Beberapa pesan singkat membuat kami akrab. Pesan-pesannya seputar apa yang perlu dipersiapkan menjelang keberangkatan pun sangat membantu. Hingga akhirnya kaki menjejak di negeri tulip pada minggu terakhir Ramadhan.

Kamis pertama, ku temui beliau. Waktunya copy darat setelah saling bertukar kabar beberapa minggu yang lalu. Sekaligus ingin menyampaikan oleh-oleh dari Jambi. Berbekal kenekatan karena pengetahuan yang masih minim tentang sistem transportasi yang canggih dan daerah yang betul-betul baru bagiku, dari Nijmegen ku susul Tante Ninik ke Heerlen. Segar dalam ingatan, saat itu beliau mengabarkan bahwa Om Ronald dan Ducke akan menunggu di Stasiun Eindhoven pukul sekian. Dan dari Eindhoven akan bersama-sama ke Heerlen. Jadwal kereta menuju Eindhoven sudah di tangan. Begitu kuliah selesai, langsung ku pacu sepeda untuk mengejar jadwal yang sudah disepakati. Entah berapa kali Tante Ninik bertanya dimana posisiku selama dalam perjalanan. Pastilah saat itu beliau sedikit banyaknya khawatir dengan statusku sebagai orang baru. Pribahasa lawas menjadi senjataku kamis sore itu, malu bertanya sesat di jalan plus clingak-clinguk ke luar jendela. Membaca setiap plang nama station kecil dan besar yang kulewati. Untuk amannya, aku juga memilih kursi kosong yang disebelahnya diduduki oleh noni Belanda agar bisa dengan mudah bertanya nantinya. Nasib baik. It worked, guys! Tiba di Eindhoven, Ducke menyongsongku dengan senyumnya.

“Ilsa?”tanyanya dengan style yakin.

Tante Ninik pasti sudah memberitahu Ducke pakaian apa yang kukenakan saat itu. Kaos hitam polkadot dan jilbab hitam yang senada. Jadi tidak susah mencari sepupu barunya ini. Erat ku jabat tangannya. Satu hal baru lagi yang harus kubiasakan adalah berjalan dengan langkah super cepat mengikuti Ducke menuju area parkir. Memang seperti itu orang-orang disini berjalan. Langkah panjang!

Pertemuan pertama dengan Tante Ninik sungguh menyenangkan. Cantik dan ramah. Peluk dan cium mengawali pertemuan pertama kami. Sapuan mataku ke rumahnya yang mungil menegaskan bahwa Tante Ninik seorang perfeksionis dan sangat memperhatikan detail. Rumah mungil khas Belanda yang elegan dengan nuansa hitam putih, berornamen klasik namun modern. Indah. Segala perkakas dan perabot tertata dengan sangat rapi. Kelihatan sekali bahwa tata letak seluruh benda di rumah itu benar-benar dipikirkan sebelumnya. Tidak ada yang asal letak saja. Bahkan hingga ke kamar mandinya. Masuk kamar mandi beliau di lantai dua, seperti masuk ke dalam salon mahal dengan fasilitas sauna dan body massage. Harum, segar, dan menenangkan.

(ruang tamu hitam putih)

Tetapi ada yang lebih membuatku berkesan dan begitu beruntung diberikan kesempatan untuk bertemu dan mengenal Tante Ninik walaupun tak sering ke Heerlen atau Belgia karena kesibukan kuliah dan kegiatan-kegiatan lain bersama teman-teman.

Tante Ninik banyak memberikan pelajaran berharga tentang hidup. Bagaimana beliau memandang sebuah kegagalan sebagai sebuah pelajaran yang berharga dan membuat kegagalan itu tak lagi terulang. Kegagalannya dalam membina rumah tangga sewaktu di Indonesia membuatnya bercermin dan mengevaluasi dirinya. Walaupun saat itu ia tak memungkiri bahwa sebagai manusia biasa, ia pun rapuh. Tetapi banyak hal membuatnya berpikir positif dan kembali menata hidupnya hingga Om Ronald datang dan melengkapi lagi bagian hatinya yang hilang lalu memboyongnya ke Belanda.

Apa yang dilakukan Tante Ninik sehari-hari dan bagaimana ia memperlakukan Om Ronald menjadi catatan tersendiri bagiku.

“Tante selalu rapi dan berdandan cantik seperti ini kalau di rumah?” itu tanyaku pada hari kedua aku menginap di rumahnya pertama kali.

Beliau tertawa saat itu. Matanya yang sipit menyisakan garis ketika gelaknya pecah.

“Iya. Aku tidak mau Ronald melihatku berantakan ketika beliau pulang kerja. Nee!”jawabnya sambil tertawa.

Aku tersenyum. Salut! Harus ditiru!

“Semua sudah harus beres dan bersih sebelum dia pulang.”lanjutnya lagi.

“Ooo….”responku sambil mengekor kemana saja Tante Ninik melangkah.

“Iya. Memang harus begitu, Ilsa. Kamu tau? Waktu di Indonesia, aku dulu tidak bisa masak. Semua urusan rumah aku serahkan kepada pembantu.”

Saat itu aku sedikit termangu. Tidak bisa memasak? Hmmm….! Melihat kelincahannya meracik segala bumbu dan mengaduk masakan yang dibuatnya selama dua hari itu membuatku sulit percaya.

“Tetapi sejak menikah dengan Ronald, aku bertekad untuk berubah. Dan ternyata kita bisa kalau kita mau belajar.”

Anggukanku mengamini perkataan beliau. Manjada wa jada!

(di Hasselt centrum)

Singkatnya, Tante Ninik bukan wanita biasa bagiku. Dua kali aku menyambanginya di Heerlen dan pertemuan kami yang kedua, beliau dan Om Ronald membawaku ke rumahnya di Haselt, Belgia. Sebenar-benarnya ku nikmati sisi kota Haselt yang tenang, berfoto bersama di kebun apel dan pir menuju rumahnya, berbelanja bersama di pusat perbelanjaan Haselt, memanjakan mata dengan pemandangan yang begitu indah di teras belakang rumah beliau layaknya alam Edensor dalam Laskar Pelangi. Pada malam terakhir kami bersama, Om Ronald menghadiahiku es krim spesial penutup makan malam kami.

(spesial dari Om Ronald)

(pemandangan dari teras belakang rumah di Hasselt)

Kecintaanku pada Tante Ninik pun bertambah ketika beliau jauh-jauh dari Heerlen memenuhi undangan kelulusanku. Gembiran dan bahagia!

Pembawaannya yang begitu lincah dan riang membuatnya mudah diterima oleh teman-teman yang kebetulan saat itu juga berkumpul untuk makan malam bersama. Canda dan tawa meningkahi kesibukan kami memasak di dapur, sementara teman-teman yang lain berkutat dengan hasil bidikan mereka di kamarku yang telah sebulan lebih ku kosongkan.

(makan malam terakhir bersama)

Malam yang tak kan terlupakan. Ketika pesta usai dan segala menu nyaris tandas. Masih sempat ku bungkuskan kare kambing dan bakwan untuk Om Ronald.

(kereta malam terakhir untuk tante ninik)

Malam ketika jarum jam beranjak ke angka sepuluh. Ketika ku sambar sebuah buket mawar merah dan ku berikan kepada beliau, ketika aku dan tante ninik berdiri di halte depan rumahku menunggu bus menuju Central Station, ketika angin dingin di penghujung musim panas menampar wajah kami, ketika ku lingkarkan tanganku erat di pinggangnya menuju peron dalam langkah kaki yang tergesa, ketika beliau berkata sembari mengencangkan syal channelnya “Jangan lama-lama di Indonesia ya. Kamu masih muda. Dua tahun saja dan kembali lagi kesini. Lanjutkan studymu! Aku doakan!”, ketika dadaku tersengal menahan tangis, ketika ku peluk beliau dengan sangat eratnya, dan ketika akhirnya aku harus berkata…”Terima kasih untuk semuanya ya, Tante”, ketika air mataku membuncah seiring dengan berjalannya kereta putih merah tersebut menuju selatan dalam pijaran cahaya kuning emas lampu neon yang berjajar mengapit rel. Ketika kereta hilang sempurna dari pandangan, ketika itulah sepenuhnya aku berdoa di dalam hati mengamini dan berharap semoga Tuhan mendengar kata-kata terakhirnya sebelum pelukan kami terpaksa terurai lepas oleh peluit panjang masinis berseragam biru pekat.

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di