Skip to main content

Dalam Penantian (Giethoorn Eposide)

Begini ceritanya.

Awalnya hanya ide dua makhluk yang konon kerap dicap mamarazi, khususnya Billy, untuk plesiran ke Giethoorn. Ide itu dibahas dengan tak begitu serius dalam rintik hujan sambil bersepeda menuju rumah Long Rose sepekan yang lalu. Ide tersebut berbaur dengan cerita seru si mamarazi 1 yang baru saja pulang dari perjalanan delapan harinya ke empat kota di empat negara dalam kawasan Eropa Timur, yaitu Praha (Cekoslowakia), Budapest (Hongaria), Bratislava (Slowakia), dan Vienna (Austria). Mengapa seru? Suka dukanya lengkap di dalam cerita tersebut. Tanya saja beliau jika ingin detailnya atau tunggu saja terbit notenya nanti. Alhasil, singkat kata rencana yang bermula dari ide yang tak serius itu pun terealisasi. Tanggal 14 Agustus malam setelah buka puasa, rencana dimatangkan, sejumlah nama bergabung dan beberapa nama dicurigai turut serta karena iming-iming bakwan jagung. Disetlah stasiun tempat semua berjumpa. "Besok ya, guys. Semua ketemuan di Stasiun Zwolle pukul 10 pagi. Setelah itu kita ke Giethoorn dengan kereta pukul 10.20". Yang di Nijmegen sudah mengiyakan, yang di Groningen apalagi...karena memang Zwolle merupakan stasiun yang tak seberapa jauh dari tempat mereka. Lalu ujug-ujug, pukul 12 tengah malam....sebuah pesan masuk..."Tungguin gua donk. Gua nyampe di Zwolle pukul 11.14 lho. Itu aja udah pake kereta paling pagi dari Maastricht". Maka berubah lagi lah jadwal semula. Dan akhirnya disepakati pukul 11.14 ketemuan di Zwolle dan 11.20 cabut ke Giethoorn. Eh, tak berapa lama....pesan dari Rotterdam menghampiri "I might join you all if I wake up in the morning". Okay! Dari Utrecht? Ga ada kelanjutan kabar, tetapi dianggap pasti turut serta. Setelah beberapa jam yang lalu mengirimkan inbox ke Nijmegen, bertanya tentang kepastian jalan-jalan besok dan diiyakan. Maka semua siap dijalankan.

Nijmegen CS, Track 4a pukul 08.30. Lengang!

Pagi hari pukul 08.16, tanggal 15 Agustus. Ketika seluruh penghuni Willemsweg masih bergelung di dalam selimut setelah sahur, si mamarazi 2 meninggalkan rumah dalam suhu 14 derajat celcius, langit mendung dan angin lumayan kencang. Dingin. Padahal ini masih Agustus. Selain itu, sesal dan rasa bersalah juga menggelitik hati, karena bakwan jagung yang dijanjikan tak sempat dibuat akibat bangun kesiangan. Tetapi semangat membuat semua terabaikan dan langkah makin dipercepat menuju Central Stasiun Nijmegen di jalanan yang minus kendaraan sepagi itu. Sepertinya tak ada orang yang ingin keluar dari bawah selimut mereka dalam nuansa abu-abu dingin minggu pagi ini. Senyum pertama di pagi hari menjadi komunikasi bisu dengan sopir-sopir taxi yang sedang duduk dan berbincang riang di sisi kanan stasiun sebelum masuk menunggu kereta jurusan Roosendaal di spoor 4a dengan ditemani dua orang penumpang lain yang berdiri dan sibuk berdamai dengan kantuk yang masih tersisa. Tepat pukul 8.48 kereta tiba dan bergegas mengambil tempat di kelas 2 di tingkat atas. Hanya ada sepasang opa oma yang khusyuk membaca. Pukul 9.51 akhirnya tiba di Utrecht Centraal setelah sempat berganti kereta di stasiun 's-Hertogenbosch. Elen belum datang. Bus yang membawanya dari Wageningen ke Ede bergerak lama hingga ia harus naik kereta berikutnya. Billy pun masih dalam perjalanannya dari Maastricht. Walhasil, duduklah sendiri menunggu sobat-sobat tercinta di bangku besi hitam tak jauh dari flap display board yang menyajikan puluhan jadwal kereta dari dan ke seluruh kota-kota di Belanda. Dalam penantian itu, beberapa obrolan terjadi. Obrolan pertama dengan seorang laki-laki yahudi yang mengenakan topi khas kaumnya. Percakapan bermula dari tanyanya..."Are you fasting now?". Dan berlanjutlah pada obrolan ringan tentang waktu puasa yang lama, bukan tentang situasi di Jalur Gaza. Ketika si bapak pergi karena keretanya akan segera tiba, serombongan opa oma dari Ambon berjalan mendekati. "Dari Indonesia ya?" dan berikutnya tegur sapa serta jabat tangan pun memulai kehangatan obrolan kedua di pagi itu. Mereka orang Indonesia yang telah lama tinggal di Utrecht dan pagi ini akan menghadiri acara tujuh belasan di Amsterdam. Obrolan yang membuat rindu Indonesia. Tepukan ringan di lengan, senyuman, dan ekspresi wajah yang bersahabat. Obrolan yang membuat langkah ingin segera menjejak di Jakarta dan berlanjut ke Jambi. "Okay ya...kita jalan dulu. Selamat berhari minggu". Itu kalimat terakhir pemutus kehangatan pagi itu.

Align Center
Flap Display Board di Utrecht Centraal. Sendiri. Menunggu Charly, Elen, & Billy.

Ketika mereka telah pergi, tak lama berselang saat kembali duduk menunggu, seorang wanita belanda paruh baya menanyakan tempat kosong disebelah. Hanya 2 menit saling diam. Lalu kami sama-sama tertawa melihat tingkah polah seekor anjing labrador hitam yang menggonggong kegirangan saat bertemu tuannya di dekat pusat informasi. Dan dari tawa itu pun kami melanjutkannya dengan topik SAIL Amsterdam, yaitu sebuah acara lima tahunan sekali, pameran kapal laut dan kapal motor yang akan diadakan di Pelabuhan Amsterdam. Ia membentangkan brosur Events in Amsterdam di pangkuannya dan kami membacanya bersama. Dikabarkan akan ada sekitar 20 kapal-kapal besar dari beberapa negara yang akan merapat di pelabuhan Amsterdam bersamaan dengan 500 kapal laut bersejarah dan juga kapal motor yang kesemuanya akan dipertontonkan minggu depan. Usai membahas masalah kapal laut, kami membahas keindahan gaun-gaun ala Litte Missy yang dikenakan sekelompok gadis-gadis belasan yang bergerombol di pojokan Swirl. Sepertinya mereka akan mementaskan sebuah pertunjukan teater. Lalu Charly datang dengan senyum khasnya dan obrolan seru pun tuntas sampai disitu setelah mengucapkan terima kasih karena telah menjadi teman bicara yang menyenangkan.

Bersama Charly, menunggu Elen dan Billy menjadi sama tak garingnya seperti ketika si Bapak Yahudi, rombongan opa oma dari Ambon, dan wanita Belanda paruh baya tadi ada. Cerita mengalir. Mulai dari thesis, keluarga, pekerjaan paruh waktunya, dan perjalanan solonya ke London esok hari. Hingga akhirnya Billy muncul. Dan seperti biasa, complaintnya melengkapi obrolan kita. "Elen belum nyampe? Come on...gua aja yang jauh di Maastricht udah nyampe duluan gitu lho. Masa yang dari Wageningen aja telat". Beeuhh....betapa kangennya dengan sejuta complaint Billy. Ia datang dengan mata merah, jam tidur tak cukup sepertinya karena dinihari baru sampai dari Brussel melihat event dua tahunan Brussel's Flower Carpet. "Rugi lu Sa ga ikutan ke Brussel kemarin. Lagian acara yang kemaren itu dua tahun sekali. Kapan lagi gitu lho. Mumpung masih di sini". Kalau sudah begini, tiba-tiba saja aku jadi merindukan Hesti ada disisiku untuk memberikan kekuatan mental menghadapi Billy yang paling bisa membuat orang merasa rugi sedunia karena tidak mengikuti sarannya untuk bergabung menjelajahi seluruh pelosok Eropa. Benci! Tapi rindu!

Setengah jam kemudian nona manis dari Papua akhirnya datang dengan jaket hitam berlogo Manchester merah yang betul-betul dibelinya di Manchester ketika berlibur ke sana, jeans dengan lutut yang sobek di sebelah kanan, dan syal coklat tua yang melilit di leher senada dengan bando yang menghiasi rambutnya. "Aduh maaf lama menunggu. Sa dibawa mutar-mutar sama bus. Makanya lama sampe di Ede" belanya. Dan siapa yang bisa tega menghakimi si nona manis ini? Tidak ada. Jadi tak apa. Tak masalah. Dan kita pun bersiap menuju Zwolle sesaat setelah sebuah pesan dari Hesti sampai. "Kalian dah dimana? Kita sudah di Zwolle ni ya. Di bilik kaca spoor 3a". Jawaban Billy yang menyatakan bahwa kami baru akan bertolak ke Zwolle membuat Hesti protes via sms. Dan kami menanggapinya dengan senyuman. Hanya sebuah protes melalui sms. Apalah artinya.

Di kereta menuju Amersfoort, gerbong terakhir menjadi pilihan untuk melanjutkan cerita. Hanya ada tiga bangku tempel yang telah kami duduki bertiga. Maka Charly harus rela berdiri, bersender pada dinding kereta dengan memeluk ranselnya. Kali ini cerita lebih fokus pada masalah transportasi domestik jika nanti pulang ke Indonesia, tentang kebijakan baru NESO yang dipaparkan Pak Marik Bellen ke forum pada acara StuNed Day di Den Haag Juni lalu, dan tentang penelitian singkat di daerah selama 2 minggu. Sempat terheran-heran ketika si Nona Manis menegaskan bahwa Garuda bisa menjadi pilihan dari Schiphol-Jakarta jika ingin pulang ke Indonesia. How come? Astaga! Dan seketika meledaklah tawa. Bagaimana tidak ketika si nona berkeras bilang bahwa temannya ada yang pulang pakai Garuda, dia disupport oleh Ford Foundation. Halah...!!! Tak kirain memang kebijakan baru juga dari NESO. Sepertinya Elen masih berada dibawah pengaruh buslag-nya di Waganingen tadi pagi. Jadi koneksinya masih belum terlalu kuat. Obrolan menjelang ganti kereta di Amersfort itu disudahi bersamaan dengan selesainya Charly mengontak ibunda tercinta di Surabaya untuk dimintai tolong merubah penerbangan yang pertama dengan penerbangan yang dibahas sebelumnya.

Dari Amersfoort, tak lama menunggu, kereta berikutnya bergerak ke Zwolle. Kali ini lebih nyaman. Penumpang tak sepadat di kereta sebelumnya. Billy lagi-lagi mengeluarkan ajian andalannya tentang betapa seharusnya kita bisa memanfaatkan waktu selama di Belanda untuk menjelajahi negara-negara di Eropa. Tentunya dengan strategi cerdas melakukan perjalanan murah meriah namun berkesan. Beda-beda tipis dengan trik-trik yang disajikan di Negeri van Oranje. Caranya? Billy menunjukkan kartu Rail Pass miliknya seharga 70 Euro yang bisa digunakan 10 kali bolak-balik kemana saja di dalam Belgia. Charly juga tak mau kalah dengan menunjukkan Oyster Card yang akan digunakannya dalam perjalanan solo perdananya di London besok, sebuah tiket elektronik isi ulang yang dikeluarkan oleh pihak Transport for London yang bisa digunakan untuk kereta, tram, bus, dan kapal-kapal jenis tertentu selama melakukan perjalanan di negara Ratu Elizabeth tersebut. Elen pun tak tinggal diam, ia sangat mendukung usaha Charly mempersiapkan Oyster card, karena pengalamannya menjelajahi pelosok London-Cambridge-Manchester membuktikan bahwa transportasi di London gila-gilaan harganya. Barangkali kurang lebih sama mahalnya dengan transportasi di Swiss, Zurich-Bern saja harus dihargai dengan tiket kereta senilai lebih dari 40 euro. Mengerikan! Usai bicara tentang harga tiket dan transportasi di Belgia dan London, ujung-ujungnya Billy kembali mempromosikan perjalanannya tanggal 18 Agustus ke Berlin bersama Bram dan Mone. Nyaris jitu, terpikat untuk pergi terlebih anggarannya tak pula mahal.

Kereta akhirnya berhenti beberapa menit di Zwolle. Melompat turun. Dari kejauhan kelompok Groningen sudah terlihat duduk menunggu di bilik kaca spoor 3a. Ada Ida dan Sarah, minus Hesti dan Diena. Pelak peluk, cium pipi kiri, kanan, dan kiri lagi ditingkahi teriakan sedikit lebay seperti kawan yang tahunan tak bersua. Lalu Hesti dan Diena datang. Diena off puasa hari itu untuk alasan jamaknya wanita terpaksa libur puasa selama seminggu di bulan Ramadhan. Untuk alasan itu, maka secangkir teh panas dengan tiga creamer dan dua sachet gula di tangannya pun bisa kami maklumi. "Ayo kita cabut. Itu keretanya. Itu kereta kedua lho" komando Hesti. Tetapi komando itu mentah jadinya ketika Charly menyampaikan amanat Evan agar kita semua menunggunya. Apa mau di kata? Atas nama kekompakan, maka Evan pun kami tunggu. Lagi-lagi gelak tawa dan canda tentunya meriuhkan suasana hingga akhirnya evan datang setelah empat kereta ke Steenwijk berlalu begitu saja. Kereta ke lima yang datang menjelang pukul satu akhirnya mengantar Evan dengan selamat mengakhiri penantian panjang hingga tengah hari itu. Tak perlu meminta Evan bergabung di bilik kaca spoor 3a, sontak semua berdiri, memintanya kembali naik ke kereta yang tadi ditumpanginya. Kereta yang sama yang akan membawa kita ke Steenwijk, stasiun kecil menuju Giethoorn.

(Nijmegen, 1 am, sambil menunggu sahur)


Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

The Women with Beatific Smiles

My world was filled with thousand of rainbows' colors when I saw those beatific smiles that night. I learn much from these women.