Skip to main content

Lucky

Feel so lucky for having 4-month experience working together with researchers in Max Planck Institute for Psycholinguistics. :D Not deeply involved to use high-tech Eye Tracking Equipment and others experiment stuff, but exciting enough to sit in front of an Apple in the 3rd floor to collect as many as stimuli which would be used for the experiment in guidance of a doctor and a researcher as well from Belgium. Reading journals regarding it.


And I would never ever again think that it was a piece of cake in searching thousand pictures for the stimuli, so many steps to do in order to make it sufficient for becoming the final stimuli. How would you describe two or more different objects which semantically different but your brain was insisted to set and move those objects in 360 degrees just to find the best angle to make those things look similar. Yup! More challenging by learning using new software and meeting new smart friendly buddies, having a chat in coffee break, and laughing a lot in pantry at lunch. Or pushing the 50 cents into the vending machine for a cup of Douwe Egberts (with more sugar and cream of course) when my eyes demanded it.

And then? It's beyond my dream to say hello, sitting in the same room, listening to his lecture, writing the paper under his instruction, and silently staring at him while having standing discussion with other researchers after one's doctoral defense. Isn't it too much for a new learner like me to work, eat, and share so many unforgettable moments in the very scientific environment together with Stephen Levinson, Nick Enfield, Penelope Brown, Marianne Gullberg, Leah Roberts, and other top researchers in linguistics (specifically in psycholinguistics)?

That's why I told you that I feel so LUCKY..! SO MUCH...!!!!

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di