Skip to main content

Yang Selalu Ingin Ku Ulangi...

Yang ingin lagi ku ulangi bersama orangtuaku. Jika saja mungkin (walaupun pasti mustahil):

1. Kembali ke penghujung usia 6 tahun. Masa ketika TK telah usai. Masa ketika mama mendandaniku dengan begitu bersemangatnya. Menyisir rambut ikalku dengan sedemikian rupa dan menggantungkan anting-anting lucu dari kulit kerang ditelinga mungilku, hadiah nenek dari Surabaya. Lalu membawaku kepada papa. Papa menggandeng lenganku, membantuku naik ke Honda merahnya, dan meluncur ke sebuah studio foto. Pas foto untuk syarat masuk SD. Pas foto hitam putih yang tahun lalu, ku temukan masih tersimpan di dalam laci lemari mama.


2. Kembali ke bangku kelas 1 SD. Ketika huruf demi huruf telah bisa dirangkai menjadi kata. Lalu tak sabar menunggu papa pulang dan membawaku keliling kota di sore hari. Hanya ingin membaca semua papan reklame di sepanjang jalan dengan suara keras dan mendengar papa membenarkan setiap rangkaian kata yang kurang tepat.

3. Masih di kelas 1 dan berlanjut hingga SMP. Selalu tak pernah sabar menunggu papa pulang mengajar. Menghambur membuka pintu ketika deru motornya terdengar, lalu membiarkan beliau mengucek rambut yang telah disisir rapi oleh mama, dan yang paling penting dari itu....girang bukan alang kepalang ketika beliau menunjukkan coklat dengan gambar superman. Selalu begitu dan selalu ku tunggu! Setiap hari. Tradisi coklat superman berhenti ketika tak lagi diproduksi dan makin susah ditemui di warung-warung.


4. Ketika aku kelas 4 SD. Papa sering membawa kami menikmati ES Teler 77 di daerah pasar, dekat simpang bata. Dengan honda merah yg dibeli papa ketika usiaku belum genap 1 tahun. Ilman dan Rika di depan, Widya dan aku di belakang. Bersahutan membaca semua tulisan di sepanjang jalan. Heboh. Helm kecil kami dulu berwarna-warni. Merah, biru tua, hijau, dan hitam. Dengan tali penahan di bawah dagu.

5. Di lain waktu. Usai membawaku dan adik-adikku membeli perlengkapan sekolah di awal tahun ajaran di Media Agung. Tak langsung pulang. Jatah Campina persis di seberang toko buku itu. Segar selalu diingatan. Es krim berbentuk badut, dengan wajahnya yang kuning, telinga merah jambu, dan topi hijau.

6. Masih juga di bangku SD dan SMP. Menikmati malam dengan kerang rebus dan sambal nenas di salah satu warung di Hawa Jaya, setelah berjam-jam menemani papa mencari buku di Tropi, Nelson, Gloria, dan Media Agung. Tanpa kata...karena papa sibuk dengan buku barunya...dan aku pun sibuk dengan Donal Bebekku, Ananda, atau Kisah Nabi ku.

7. Kelas 2 SD. Papa membawakanku sebuah bumerang. Lalu mencontohkan bagaimana memainkannya. Bumerang itu kembali ketika papa yang melempar, tetapi hilang untuk selamanya ketika giliranku yang melemparnya. Di depan rumah lama kami di Sungai Putri. Dan hadiah yang papa bawa dari Australia itu pun lenyap! :DD


8. Sekitar kelas 3 SD. Papa membawaku di sela-sela waktunya mengisi materi penataran matematika. Betapa aku masih bisa mengingat dengan jelas kepalaku yang mendongak menatap papa berbicara dengan seorang laki-laki tinggi besar dengan jas abu-abunya, berkulit putih, bermata biru, dan berambut jagung. Di penghujung pembicaraan, laki-laki bule itu menyapaku "Hello, little girl...." dan aku tersenyum takut-takut kepadanya, setelah sebelumnya bersembunyi di balik kaki papa. Tidak akan pernah ku lupa saat itu. Di Hotel Nusa Wijaya, Sipin Ujung. 22 tahun yang lalu.

9. Kelas 3 SD, 1 minggu sebelum adik bungsuku lahir. Papa pulang setelah beberapa bulan tugas belajar. Dan selama beberapa bulan itu juga aku dan adik-adikku selalu berlari keluar rumah dan tak henti melambaikan tangan setiap kali ada pesawat yang terbang di langit atas rumah kami, seolah yang ada di dalam pesawat itu adalah papa yang selalu melambungkan kami bergantian dengan kedua tangannya setiap sore. Scotland mengembalikan papaku dengan membawa scrabble berkotak hijau, juga boneka Buckingham-palace-guard dengan topi hitam panjang dan seragam merahnya. Lama scrabble itu ku simpan di atas lemari nenek, hingga akhirnya turun tahta dan kumainkan pertama kali bersama papa di kelas 5 SD, setelah kursus bahasa Inggris.


10. Kelas 6 SD, ketika tangan kiriku patah, tragedi bermain hadang-hadangan bersama teman-teman sebelum lonceng berbunyi. Papa lah yang menghandle semuanya. Papa selalu punya cara untuk membuatku tak menjerit ketika diurut oleh Bik Odah di Kampung Legok, salah satunya dengan memberikan sapu tangan beliau sambil berkata..."Gigit sapu tangan papa ini, Nak...". Dan papa menjadi pahlawanku dengan menemui teman-teman yang datang disaat lebaran, sementara aku malu keluar dengan tangan kiri yang masih terbalut perban dan disangga seperti menggendong bayi.

11. Kelas 1 SMP. 1 set jangka BOFA baru dari papa. Berkilau dalam kotak hitamnya dan aman dalam balutan kain beludru biru tua. Begitu bersemangatnya aku menikmati pelajaran pertama cara menggunakan jangka, dengan tangan besar papa yang menggenggam tangan kecilku.


12. Semester kedua di kelas 1 SMP, di punghujung bulan. Membuat papa bingung dengan kemauanku untuk dibuatkan seragam sekolah baru. Jilbab, baju lengan panjang, dan rok biru tua. Namun papa tetap memenuhi pintaku. Membawaku kepada kerabatnya, seorang penjahit, menjelang pukul 9 malam. Minggu depan, dengan bantuan mama. Si sulung ini telah berjilbab ke sekolah.

13. SMA kelas 1. Papa menjelma menjadi seorang ayah paling baik sedunia. Hanya karena memberiku izin menonton Dying Young dan Gone With the Wind di Selasa Drama SCTV. Tentunya setelah 4 kurcaci yang lain masuk kamar dan tidur. I love you, Paaaaaa............

14. Ketika jadi mahasiswa S1. 1 bungkus silver queen besar akan selalu papa selipkan di dalam tasku setiap kali aku bersiap-siap naik bus malam menuju Padang ketika liburan semester usai. Usapan di kepala dan dua kata..."Hati-hati ya....".

That's My Dad, the real Superman in my life (just like other dads in the world who would do the best for their children)..........yang pagi kemarin kuhabiskan waktu berbicara dengan beliau selama lebih 1 jam, tentang serangan Israel atas kapal bantuan kemanusiaan yang akan berlabuh di Gaza, tentang pemilihan CAGUB dan CAWAGUB di kotaku, tentang thesisku, tentang Rio yang mulai dibawa papa sholat berjamaah ke Mesjid, tentang pengalaman kami yang sama tetapi dari waktu yang berbeda melihat kuasa-Nya yang menjadikan siang dibelahan bumi lain menjadi lama dan sebaliknya. Dan obrolan kami selesai ketika Azan Shubuh dari Islamic Finder bergema pukul 3 lebih 2 menit. Tetapi setelah itu aku berbicara secara pribadi pada-Nya, memohon dengan sungguh agar aku dan adik-adikku diberikan lebih banyak waktu untuk menghabiskan hari bersama beliau. Our Superman and superwoman! :)

(written in an hour after dinner, after having a chat with my sista, looking at my youngest brother pics, and reading my brother's comment on our youngest...and felt that time does fly so fast.)

Comments

  1. iri. iri pdmu yg memiliki papa spt itu. seumur hdpku,yg kuingat,papaku hanya sekali mengusap kepalaku.saat aku pindah k jambi bsrta suami dan anak2 (pdhl saat itu aku ingin sekali memeluknya). papaku mmg kaku,tdk spt papamu. aku ingin papaku seperti papamu tp mgkn org tua punya cara sendiri dalam menunjukkan kasihnya pd anak2nya dan ak tahu,papaku sangat menyayangi anak2nya,hanya dengan cara yg berbeda....cara yg berbeda.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di