Mbak Ning, wanita 'perkasa' yang ku akrabi justru disaat jauh dari rumah, mengirimkan notesnya. Kali ini bertopikkan puluhan baliho pasangan pejabat yang notabene juga mantan bupati atau pejabat tinggi di kabupaten atau kota yang sedang meramaikan setiap perempatan. Bukan hanya foto-foto mereka yang dipamerkan disetiap tempat yang bisa ditangkap oleh mata, tetapi juga janji-janji untuk mensejahterakan rakyatnya. Kelak. Jika terpilih. Dan jika betul-betul terpilih, maka janji tinggallah janji. Dan rakyat yang telah memilih? "Maaf, kalian kami kibuli!". Nasibmu rakyat!
Miris dan jengah sendiri setelah membaca notenya Mbak Ning. Lalu tiba-tiba ingat cerita tentang Khalifah Umar bin Khattab R.A. yang dulu pernah disampaikan ayah setelah mengajarkan aku dan adik-adikku mengaji.
Beliau pernah berkisah bahwa Khalifah Umar bin Khattab R.A. merupakan salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang digelari Al-Faruq, yang artinya orang yang dapat membedakan antara yang benar dan baik serta meninggalkan sikap perilaku yang salah dan buruk. Seorang pemimpin yang berani, berkemauan keras, bijaksana, dan lemah lembut. Lemah lembut, bukan lembek! Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar bin Khattab R.A. dikenal mempunyai kepribadian yang luar biasa. Beliau sangat peduli dengan keadaan rakyat yang dipimpinnya. Adalah sesuatu yang biasa dilakukannya jika malam tiba, Khalifah Umar kerap diam-diam keluar dari rumahnya dan melihat sendiri keadaan rakyatnya. Tidak pakai ajudan, tidak berkendaraan, dan juga tidak ditemani pengawal khusus seperti yang jamak dilakukan oleh pejabat-pejabat kita jika sedang inspeksi. Bahkan beliau berupaya tak satu orangpun mengenalinya. Semata hanya ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri kondisi orang-orang yang telah mengamanatkan sebuah kepemimpinan kepadanya.
Semuanya terlihat aman tanpa masalah sampai suatu malam beliau tiba di sebuah perkampungan dengan jarak yang agak jauh dari Madinah. Didepan sebuah rumah yang sangat sederhana, beliau mendengar suara tangisan anak-anak. Disaat bersamaan, beliau juga mendengar ibu dari anak-anak tersebut tak hentinya membujuk anak-anaknya untuk bersabar sambil berkata bahwa sebentar lagi makanan yang sedang dimasaknya akan matang dan siap dihidangkan. Lama Umar berdiri mendengarkan tangisan dan bujuk rayu sang ibu dari luar rumah. Namun melalui celah-celah dinding beliau melihat makanan yang sedang dimasak wanita itu tak kunjung matang. Sementara anak-anak yang tadi menangis mulai tertidur dengan menahan lapar. Dengan santun akhirnya Umar mengetuk pintu, mengucapkan salam, dan bertanya kepada wanita miskin tersebut tentang makanan yang sedang dimasaknya. Wanita itu bergegas berjalan menuju tungku yang masih menyala, diperlihatkannya panci di atas tungku tersebut kepada Khalifah Umar sembari berkata "Apa yang saya masak ini tidak akan pernah matang. Karena saya hanya merebus sebuah batu agar anak-anak percaya bahwa saya memang sedang memasakkan makanan untuk mereka. Beginilah nasib kami. Saya dan anak-anak saya yang yatim. Dan Khalifah Umar, pemimpin kami sama sekali tidak tahu dan peduli akan nasib kami. Sesungguhnya beliau telah menzalimi kami".
Seketika Khalifah Umar kembali ke Madinah dengan tujuan ke Baitul Mal untuk mengambil sekarung besar gandum dan minyak samin. Beliau memikul sendiri karung gandum yang akan diperuntukkan untuk janda dan anak-anaknya yang sedang kelaparan tadi. Jarak yang cukup jauh antara Madinah dan tempat tinggal wanita itu tak menghentikan langkahnya barang sedetikpun untuk menurunkan beban di punggungnya. Abas, sahabatnya yang menyertai dan bermaksud menolongnya pun ditolaknya dengan berkata "Saya tidak akan membiarkanmu membawa dosa-dosa saya di akhirat kelak. Biarkan saya membawa karung besar berisi gandum ini. Ini tanggung jawab saya, karena saya merasa berdosa telah membiarkan janda dan anak-anaknya tersebut menderita kelaparan. Semoga ini menebus dosa-dosa saya karena telah melalaikan amanat dan menyengsarakan mereka sebagai rakyat saya."
Sekarung besar gandum dan minyak samin itu tetap dipikulnya hingga tiba di rumah wanita tersebut. Wanita itu tetap tidak menyadari bahwa yang memberikannya gandum dan minyak samin tersebut adalah pemimpinnya, orang nomor satu di pemerintahan negeri tempat ia tinggal. Selain itu, Khalifah Umar juga meminta wanita tersebut untuk mendaftarkan diri ke Baitul Mal keesokan hari agar ia dan anak-anaknya yang yatim bisa mendapatkan bantuan rutin dari pemerintah agar mereka dapat hidup dengan layak.
Indah bukan jika pemimpin-pemimpin kita seperti Khalifah Umar bin Khattab R.A? Seorang pemimpin yang tidak pernah berangan-angan menjadi pemimpin demi sebuah kekuasaan, yang tidak hendak mengeluarkan sepeserpun dinar untuk mempromosikan dirinya, yang tak juga mau dinyamankan dengan fasilitas. Tetapi rakyat sendiri yang memilihnya dan menitipkan kepercayaan untuk mengatur dan membuat kehidupan mereka menjadi lebih sejahtera. Semua rakyatnya. Tanpa terkecuali.
Bahagia tentunya jika pemimpin kita memiliki rasa tanggung jawab seperti Khalifah Umar bin Khattab R.A. Amat sangat besar rasa tanggung jawab beliau akan rakyat yang dipimpinnya hingga di penghujung usianya pun, beliau berkata: “Sekiranya aku dapat hidup lebih lama lagi, maka akan kukelilingi semua wilayah rakyatku sehingga aku dapat melihat dengan mata kepalaku sendiri keadaan mereka yang sesungguhnya. Aku tahu mereka mempunyai berbagai kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi tanpa kehadiranku”. Seakan tak cukup baginya “Biro Pengaduan” di setiap wilayah dibawah kepemimpinannya yang dibuatnya untuk mengetahui semua keluhan dan kebutuhan rakyatnya, terutama rakyat golongan menengah ke bawah.
Mengenang air muka ayah ketika bercerita 15 tahun yang lalu, baru sekarang bisa dimengerti ketika mata, hati, dan pikiran semakin tak ingin peduli dengan janji-janji yang ada pada baliho-baliho pasangan bupati, gubernur, atau presiden dan wakil presiden sekali pun. Tentunya saat bercerita itu beliau berangan dan rindu akan hadirnya seorang pemimpin seperti Khalifah Umar bin Khattab r.a. Tidak usahlah sama, mendekati saja sudah jauh lebih dari cukup.
(hugs for Mbak Ning)
(Nijmegen, Willemsweg, Sunday, February 7, 2010)
Miris dan jengah sendiri setelah membaca notenya Mbak Ning. Lalu tiba-tiba ingat cerita tentang Khalifah Umar bin Khattab R.A. yang dulu pernah disampaikan ayah setelah mengajarkan aku dan adik-adikku mengaji.
Beliau pernah berkisah bahwa Khalifah Umar bin Khattab R.A. merupakan salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang digelari Al-Faruq, yang artinya orang yang dapat membedakan antara yang benar dan baik serta meninggalkan sikap perilaku yang salah dan buruk. Seorang pemimpin yang berani, berkemauan keras, bijaksana, dan lemah lembut. Lemah lembut, bukan lembek! Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar bin Khattab R.A. dikenal mempunyai kepribadian yang luar biasa. Beliau sangat peduli dengan keadaan rakyat yang dipimpinnya. Adalah sesuatu yang biasa dilakukannya jika malam tiba, Khalifah Umar kerap diam-diam keluar dari rumahnya dan melihat sendiri keadaan rakyatnya. Tidak pakai ajudan, tidak berkendaraan, dan juga tidak ditemani pengawal khusus seperti yang jamak dilakukan oleh pejabat-pejabat kita jika sedang inspeksi. Bahkan beliau berupaya tak satu orangpun mengenalinya. Semata hanya ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri kondisi orang-orang yang telah mengamanatkan sebuah kepemimpinan kepadanya.
Semuanya terlihat aman tanpa masalah sampai suatu malam beliau tiba di sebuah perkampungan dengan jarak yang agak jauh dari Madinah. Didepan sebuah rumah yang sangat sederhana, beliau mendengar suara tangisan anak-anak. Disaat bersamaan, beliau juga mendengar ibu dari anak-anak tersebut tak hentinya membujuk anak-anaknya untuk bersabar sambil berkata bahwa sebentar lagi makanan yang sedang dimasaknya akan matang dan siap dihidangkan. Lama Umar berdiri mendengarkan tangisan dan bujuk rayu sang ibu dari luar rumah. Namun melalui celah-celah dinding beliau melihat makanan yang sedang dimasak wanita itu tak kunjung matang. Sementara anak-anak yang tadi menangis mulai tertidur dengan menahan lapar. Dengan santun akhirnya Umar mengetuk pintu, mengucapkan salam, dan bertanya kepada wanita miskin tersebut tentang makanan yang sedang dimasaknya. Wanita itu bergegas berjalan menuju tungku yang masih menyala, diperlihatkannya panci di atas tungku tersebut kepada Khalifah Umar sembari berkata "Apa yang saya masak ini tidak akan pernah matang. Karena saya hanya merebus sebuah batu agar anak-anak percaya bahwa saya memang sedang memasakkan makanan untuk mereka. Beginilah nasib kami. Saya dan anak-anak saya yang yatim. Dan Khalifah Umar, pemimpin kami sama sekali tidak tahu dan peduli akan nasib kami. Sesungguhnya beliau telah menzalimi kami".
Seketika Khalifah Umar kembali ke Madinah dengan tujuan ke Baitul Mal untuk mengambil sekarung besar gandum dan minyak samin. Beliau memikul sendiri karung gandum yang akan diperuntukkan untuk janda dan anak-anaknya yang sedang kelaparan tadi. Jarak yang cukup jauh antara Madinah dan tempat tinggal wanita itu tak menghentikan langkahnya barang sedetikpun untuk menurunkan beban di punggungnya. Abas, sahabatnya yang menyertai dan bermaksud menolongnya pun ditolaknya dengan berkata "Saya tidak akan membiarkanmu membawa dosa-dosa saya di akhirat kelak. Biarkan saya membawa karung besar berisi gandum ini. Ini tanggung jawab saya, karena saya merasa berdosa telah membiarkan janda dan anak-anaknya tersebut menderita kelaparan. Semoga ini menebus dosa-dosa saya karena telah melalaikan amanat dan menyengsarakan mereka sebagai rakyat saya."
Sekarung besar gandum dan minyak samin itu tetap dipikulnya hingga tiba di rumah wanita tersebut. Wanita itu tetap tidak menyadari bahwa yang memberikannya gandum dan minyak samin tersebut adalah pemimpinnya, orang nomor satu di pemerintahan negeri tempat ia tinggal. Selain itu, Khalifah Umar juga meminta wanita tersebut untuk mendaftarkan diri ke Baitul Mal keesokan hari agar ia dan anak-anaknya yang yatim bisa mendapatkan bantuan rutin dari pemerintah agar mereka dapat hidup dengan layak.
Indah bukan jika pemimpin-pemimpin kita seperti Khalifah Umar bin Khattab R.A? Seorang pemimpin yang tidak pernah berangan-angan menjadi pemimpin demi sebuah kekuasaan, yang tidak hendak mengeluarkan sepeserpun dinar untuk mempromosikan dirinya, yang tak juga mau dinyamankan dengan fasilitas. Tetapi rakyat sendiri yang memilihnya dan menitipkan kepercayaan untuk mengatur dan membuat kehidupan mereka menjadi lebih sejahtera. Semua rakyatnya. Tanpa terkecuali.
Bahagia tentunya jika pemimpin kita memiliki rasa tanggung jawab seperti Khalifah Umar bin Khattab R.A. Amat sangat besar rasa tanggung jawab beliau akan rakyat yang dipimpinnya hingga di penghujung usianya pun, beliau berkata: “Sekiranya aku dapat hidup lebih lama lagi, maka akan kukelilingi semua wilayah rakyatku sehingga aku dapat melihat dengan mata kepalaku sendiri keadaan mereka yang sesungguhnya. Aku tahu mereka mempunyai berbagai kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi tanpa kehadiranku”. Seakan tak cukup baginya “Biro Pengaduan” di setiap wilayah dibawah kepemimpinannya yang dibuatnya untuk mengetahui semua keluhan dan kebutuhan rakyatnya, terutama rakyat golongan menengah ke bawah.
Mengenang air muka ayah ketika bercerita 15 tahun yang lalu, baru sekarang bisa dimengerti ketika mata, hati, dan pikiran semakin tak ingin peduli dengan janji-janji yang ada pada baliho-baliho pasangan bupati, gubernur, atau presiden dan wakil presiden sekali pun. Tentunya saat bercerita itu beliau berangan dan rindu akan hadirnya seorang pemimpin seperti Khalifah Umar bin Khattab r.a. Tidak usahlah sama, mendekati saja sudah jauh lebih dari cukup.
(hugs for Mbak Ning)
(Nijmegen, Willemsweg, Sunday, February 7, 2010)
Comments
Post a Comment