Skip to main content

Pagi Belanda, Pagi Indonesia

Musim semi di penghujung Mei, seminggu penuh sejak hujan es sebesar kelereng, telah membirukan langit Belanda di luar jendela kamarku. Biru bersih. Sangat bersih. Pukul 4 pagi, semburat tembaga matahari telah muncul. Kelam hanya sebentar saja. Hanya sekitar 6 jam melengkapi hari, lalu biru kembali menyapa.

Menjadi sebuah rutinitas yang mengasikkan pula. Usai sholat shubuh pukul 3 pagi, menyibakkan gorden biru tua sedikit, agar nanti ketika sinar tembaga itu muncul, kaca jendela bisa memantulkan pendarnya lurus ke salah satu dinding kamar, tempat dimana ku tempel dua foto sebagai penawar rindu.

Dan ketika jarum jam beranjak ke angka 5 , langit telah biru sepenuhnya, aku akan berdiri di balik jendela. Menatap lampu-lampu bulat penerang jalan yang disapa angin pagi dan melepas pandang ke simpang empat Tollensstraat yang sepi. 5 pagi yang tak sibuk seperti di Indonesia, ketika hari baru justru dimulai usai sujud. Tetapi pagi sibuk itu yang terus memanggil-manggil untuk segera mengambil bagian di dalamnya. Pagi sibuk di Indonesia.

(Nijmegen, dengan secangkir teh madu kayu manis)

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

The Women with Beatific Smiles

My world was filled with thousand of rainbows' colors when I saw those beatific smiles that night. I learn much from these women.