Musim semi di penghujung Mei, seminggu penuh sejak hujan es sebesar kelereng, telah membirukan langit Belanda di luar jendela kamarku. Biru bersih. Sangat bersih. Pukul 4 pagi, semburat tembaga matahari telah muncul. Kelam hanya sebentar saja. Hanya sekitar 6 jam melengkapi hari, lalu biru kembali menyapa.
Menjadi sebuah rutinitas yang mengasikkan pula. Usai sholat shubuh pukul 3 pagi, menyibakkan gorden biru tua sedikit, agar nanti ketika sinar tembaga itu muncul, kaca jendela bisa memantulkan pendarnya lurus ke salah satu dinding kamar, tempat dimana ku tempel dua foto sebagai penawar rindu.
Dan ketika jarum jam beranjak ke angka 5 , langit telah biru sepenuhnya, aku akan berdiri di balik jendela. Menatap lampu-lampu bulat penerang jalan yang disapa angin pagi dan melepas pandang ke simpang empat Tollensstraat yang sepi. 5 pagi yang tak sibuk seperti di Indonesia, ketika hari baru justru dimulai usai sujud. Tetapi pagi sibuk itu yang terus memanggil-manggil untuk segera mengambil bagian di dalamnya. Pagi sibuk di Indonesia.
(Nijmegen, dengan secangkir teh madu kayu manis)
Menjadi sebuah rutinitas yang mengasikkan pula. Usai sholat shubuh pukul 3 pagi, menyibakkan gorden biru tua sedikit, agar nanti ketika sinar tembaga itu muncul, kaca jendela bisa memantulkan pendarnya lurus ke salah satu dinding kamar, tempat dimana ku tempel dua foto sebagai penawar rindu.
Dan ketika jarum jam beranjak ke angka 5 , langit telah biru sepenuhnya, aku akan berdiri di balik jendela. Menatap lampu-lampu bulat penerang jalan yang disapa angin pagi dan melepas pandang ke simpang empat Tollensstraat yang sepi. 5 pagi yang tak sibuk seperti di Indonesia, ketika hari baru justru dimulai usai sujud. Tetapi pagi sibuk itu yang terus memanggil-manggil untuk segera mengambil bagian di dalamnya. Pagi sibuk di Indonesia.
(Nijmegen, dengan secangkir teh madu kayu manis)
Comments
Post a Comment