Baru saja menelfon Culin di Maninjau. 13 menit letupan rindu membuncah, ditingkahi gelak tawa, teriakan, dan canda. Pertemuan dua terakhir tujuh tahun lalu pada acara baralek gadang sepupuku. Waktu itu dia pakai stelan coklat. Tanpa lipstick. (tumben). Katanya, calon suami tidak mengizinkannya memerahkan bibir. Dan yang terakhir di alek gadangnya sendiri, satu minggu setelah wisudaku, tak genap sebulan menjelang pernikahan ku juga. Ku kenakan kebaya dan batik wisudaku. Ingin membuatnya begitu spesial disaat sang uni duduk bersanding menjadi anak daro.
Ia kabarkan tadi bahwa 2 malaikat kecilnya aman. Azizah telah jadi gadis kecil di bangku SD kelas 1 dan Hafiz, si buyung yang gagah. Betapa bangganya uni ku itu. Senang karena Hafiz punya kulit putih. Hahaha....! Tidak mewarisi kulit kami, ibu dan tantenya ini. Bahagia sungguh mendengar ceritanya.
Berapa kali dia bilang "Ni Na taragak bana jo Isa...". Lebih dari lima kali. Ku jawab dengan jawaban yang sama. Betapa tidak. Kami punya banyak kenangan yang sampai saat ini masih sering meronta-ronta untuk diulang kembali. Bersepeda disepanjang danau menuju Sungai Batang kampung Buya Hamka, mengeruk tepian danau dengan kaki telanjang untuk mencari pensi, lalu bergegas merebusnya dengan racikan bumbu ala Ama (satu panci besar), mengapung di pinggiran danau, berkecipak saling kejar di dalam air ditengah kabut danau yang mulai turun menjelang senja, duduk terkantuk-kantuk berdua di dalam Dagang Pesisir dari Padang-Lubuk Basung, mengamati penumpang-penumpang yang beraneka ragam di ANS dalam perjalanan Padang-Bukittinggi-Maninjau, menikmati perkedel jagung hangat juga pinukuik dari penjual umur belasan yang naik di Silaying, Padang Panjang, dan memetik pucuk ubi di pagar rumah yang bersisian dengan sawah tetangga sambil melihat mobil dan bus yang sedang beringsut naik di kelok 44, persis di bukit belakang rumah memanjang mendindingi sawah-sawah. Jadi wajar jika rindu, bukan? Semua indah!
"Abang janji kita akan liburan ke Bukittinggi dan Maninjau sepulangnya Isa, Cul". Tawanya renyah terdengar. "Datanglah! Jan mungkia yo...!" jawabnya. "Ni Na masak'an sado nan Isa nio. Pangek ikan, ikan baka, pensi, sadoalah e....". Masih sama. Baik hati dan tak pernah merasa disusahkan. I love you, Culin. Ini bukan hanya soal makanan yang di tangannya selalu menjadi lezat. Tapi juga soal kehangatannya yang tak pernah berkurang, lewat telfon sekalipun. Tadi, seperti kami saling bicara berhadapan, tetapi tak bisa menghambur untuk sebuah pelukan, hanya melonggokkan kepala di jendela kamar dari dua rumah bagonjong yang dipisahkan bentangan sawah dengan dangau kecil ditengahnya.
Benar-benar rindu. Benar-benar ingin pulang. Sungguh tak tertahan.
(*ingat juga janji pada Kak Mega untuk liburan bersama ke danau ini dan mengenalkannya pada Culin-ku).
Ia kabarkan tadi bahwa 2 malaikat kecilnya aman. Azizah telah jadi gadis kecil di bangku SD kelas 1 dan Hafiz, si buyung yang gagah. Betapa bangganya uni ku itu. Senang karena Hafiz punya kulit putih. Hahaha....! Tidak mewarisi kulit kami, ibu dan tantenya ini. Bahagia sungguh mendengar ceritanya.
Berapa kali dia bilang "Ni Na taragak bana jo Isa...". Lebih dari lima kali. Ku jawab dengan jawaban yang sama. Betapa tidak. Kami punya banyak kenangan yang sampai saat ini masih sering meronta-ronta untuk diulang kembali. Bersepeda disepanjang danau menuju Sungai Batang kampung Buya Hamka, mengeruk tepian danau dengan kaki telanjang untuk mencari pensi, lalu bergegas merebusnya dengan racikan bumbu ala Ama (satu panci besar), mengapung di pinggiran danau, berkecipak saling kejar di dalam air ditengah kabut danau yang mulai turun menjelang senja, duduk terkantuk-kantuk berdua di dalam Dagang Pesisir dari Padang-Lubuk Basung, mengamati penumpang-penumpang yang beraneka ragam di ANS dalam perjalanan Padang-Bukittinggi-Maninjau, menikmati perkedel jagung hangat juga pinukuik dari penjual umur belasan yang naik di Silaying, Padang Panjang, dan memetik pucuk ubi di pagar rumah yang bersisian dengan sawah tetangga sambil melihat mobil dan bus yang sedang beringsut naik di kelok 44, persis di bukit belakang rumah memanjang mendindingi sawah-sawah. Jadi wajar jika rindu, bukan? Semua indah!
"Abang janji kita akan liburan ke Bukittinggi dan Maninjau sepulangnya Isa, Cul". Tawanya renyah terdengar. "Datanglah! Jan mungkia yo...!" jawabnya. "Ni Na masak'an sado nan Isa nio. Pangek ikan, ikan baka, pensi, sadoalah e....". Masih sama. Baik hati dan tak pernah merasa disusahkan. I love you, Culin. Ini bukan hanya soal makanan yang di tangannya selalu menjadi lezat. Tapi juga soal kehangatannya yang tak pernah berkurang, lewat telfon sekalipun. Tadi, seperti kami saling bicara berhadapan, tetapi tak bisa menghambur untuk sebuah pelukan, hanya melonggokkan kepala di jendela kamar dari dua rumah bagonjong yang dipisahkan bentangan sawah dengan dangau kecil ditengahnya.
Benar-benar rindu. Benar-benar ingin pulang. Sungguh tak tertahan.
(*ingat juga janji pada Kak Mega untuk liburan bersama ke danau ini dan mengenalkannya pada Culin-ku).
Comments
Post a Comment