Skip to main content

Ikhlas..??


Penat membuat analisis paper Nick Enfield, jalan-jalan dan mampir ke beberapa blog di dunia maya sambil menunggu Shubuh pukul 3.15. Dan dapatlah sebuah cerita menarik dari blog jiran (http://fadzlinashukri.blogspot.com/2010/05/ikhlas.html), tentang sebuah keikhlasan. Ikhlas..?? Ya...ikhlas! Sang guru yang mengajarkan arti dan pentingya sebuah keiklasan kepada muridnya.



"Mari ku ajarkan mu tentang ikhlas," kata seorang guru kepada muridnya.

"Nanti saya ambilkan buku dan pena untuk menulisnya."

"Tak payah, bawa sahaja karung guni."

"Karung guni?" soal anak muridnya, seperti tidak percaya.

"Mari kita ke pasar!"

Dalam perjalanan ke pasar mereka berdua melalui jalan yang berbatu-batu.

"Kutip batu-batu yang besar dan masukkan ke dalam guni yang kau bawa itu," kata guru itu memberi arahan.

Tanpa soal, anak muridnya memasukkan batu-batu besar yang mereka temui sepanjang jalan.

"Cukup?"

"Belum, isi sampai penuh karung guni itu. Lebih banyak lebih baik."

Sampai di pasar, mereka berdua tidak membeli apa-apa pun. Gurunya hanya berlegar-legar, melihat-lihat dan kemudiannya mula beredar ke luar.

"Tok guru, kita tidak beli apa-apa kah?"

"Tidak. Bukankah karung guni mu telah penuh?"

"Ya, ya..." kata murid itu sambil memikul guni yang berat itu kelelahan.

"Banyak beli barang," tegur seorang kenalan apabila melihat anak murid itu memikul guni yang berisi penuh dengan batu-batu.

"Wah, tentu mereka berdua ini orang kaya. Banyak sungguh barang yang mereka beli," bisik orang lalu-lalang apabila melihat guru dan anak murid tersebut.

"Agaknya, mereka hendak buat kenduri dengan barang-barang yang banyak itu," kata orang yang lain.

Sampai sahaja di tempat tinggal mereka, murid tadi meletakkan guni yang berisi batu-batu tadi.

"Oh, letih sungguh... apa yang kita nak buat dengan batu-batu ni Tok?"

"Tak buat apa-apa."

"Eh, kalau begitu letih sahajalah saya," balas anak murid.

"Letih memang letih, tapi kamu dah belajar tentang ikhlas..."

"Bagaimana?" tanya anak murid itu kehairanan.

"Kamu dah belajar apa akibatnya tidak ikhlas dalam beramal."

"Dengan memikul batu-batu ini?"

"Ya. Batu-batu itu umpama amalan yang riyak. Tidak ikhlas. Orang memujinya seperti orang-orang di pasar tadi memuji banyaknya barang yang kamu beli. Tapi, kamu sendiri tahu itu bukan barang makanan atau keperluan tetapi hanya batu-batu... "

"Amal yang tidak ikhlas umpama batu-batu ini?"

"Ya, hanya beratnya sahaja yang terpaksa ditanggung. Dipuji orang, tetapi tidak ada nilainya di sisi Allah. Yang kamu dapat, hanya penat..."

"Ya, sekarang saya sudah faham apa akibat jika beramal tetapi tidak ikhlas!" ujar murid itu.

Sekarang dia sudah faham apa akibatnya RIYA dalam beramal.

Pengajaran:

Ramai manusia tertipu dalam beramal kerana mengharapkan pujian orang. Padahal kata pujian daripada orang-orang itu tidak akan memberi manfaat pun kepadanya pada hari akhirat. Malah, mengharap pujian daripada manusia hanya akan menyebabkan diri terseksa kerana terpaksa hidup dalam keadaan yang bermuka-muka. Rugi benar orang yang tidak ikhlas, terseksa di dunia, terseksa di akhirat. Keikhlasan itu umpama seekor semut hitam di atas batu yang hitam di malam yang amat kelam. Ia wujud tapi amat sukar dilihat.

Comments

Popular posts from this blog

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

The Women with Beatific Smiles

My world was filled with thousand of rainbows' colors when I saw those beatific smiles that night. I learn much from these women.