Skip to main content

Maka, Mulailah...

(Wednesday, August 5, 2009)

Ternyata hidup itu bukan hak prerogatif kita sebagai manusia untuk menikmatinya sepanjang yang kita mau. Kita hanya diberi hak untuk berusaha menjalankannya dengan segenap usaha dan upaya agar hidup yang diberikan-Nya menjadi berarti dan tidak melulu berpusat kepada kita, namun memberikan manfaat untuk orang lain yang ada disekeliling kita. Sebelum akhirnya yang memiliki kehidupan itu memanggil dan mencukupkan waktu kita.

Berawal dari berpulangnya Mbah Surip, seniman yang meroket di usia senja itu sebelumnya tidak begitu banyak menarik perhatianku. Jujur. Mendengar lagunya? Tidak dengan sengaja dan tiga minggu belakangan menjadi akrab ditelinga ketika Rio selalu menyanyikannya. Tetapi berita tentang kepergiannya yang begitu mendadak (sangat amat mendadak tanpa ada pertanda apa-apa) cukup menyentak. Ia pergi di puncak karirnya, disaat rupiahnya menggunung. Entah sempat atau tidak ia menikmati sedikit dari hasil keringatnya tersebut. Yang memiliki kehidupan telah memanggilnya dengan sangat mudah. Ternyata Tuhan tidak selalu memberikan isyarat atau firasat bahwa waktu itu telah dekat bahkan menjadi tak terhitung dalam satuan detik jika Ia ingin menutup buku kehidupan ciptaannya. Ia tidak pernah bertanya siap ataukah tidak? Jika memang waktunya tiba. Maka tibalah! Ternyata Tuhan tidak bisa ditawar. Lalu?

Lalu, selama duduk tercenung melihat prosesi pemakaman almarhum seniman sederhana itu dilakukan, aku berfikir dengan sebuah ketakutan yang amat sangat! Apa yang akan dan sudah kita persiapkan jika waktu kita tiba? Tanpa isyarat dan firasat layaknya Mbah Surip. Bagaimana kita mempertanggungjawabkan semua kenikmatan hidup yang telah diberikan-Nya, apa yang akan kita jawab ketika Ia bertanya seberapa banyak orang-orang yang telah kita bahagiakan di dalam hidup kita? atau sebaliknya, mengapa banyak orang-orang yang menderita karena sepak terjang kita ?

Maka benarlah ketika ada yang mengatakan CUKUPLAH KEMATIAN MENJADI PELAJARAN BAGIMU, agar kita tidak menyia-nyiakan setiap detik di dalam hidup, melainkan untuk melakukan sebanyak-banyaknya kebaikan, memperkaya diri dengan ilmu yang bermanfaat, dan membahagiakan setiap orang yang ada disekeliling kita. Maka, mulailah......

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di