Skip to main content

Buntut

"Selasa kemarin kita ga makan di rumah ya? Papa kan dirawat di rumah sakit. Malamnya beli pecel lele kalo ga salah. Iya kan?"

"Iya. Nih, perut masih ga enak aja bawaan. Mungkin karena sambelnya."

"Bisa juga karena ga bersihnya. Taroklah proses memasaknya bersih, bahan-bahannya bersih. Peralatannya? Liat kan gimana kebanyakan pedagang makanan nyuci piring? Ngeri! Ya itulah resiko kalo beli makanan di luar."

"He..eh.."

"Rabu kemarin sambal udang ma tumis bayam dan tahu goreng tepung. Itu udang terakhir yg terakhir di freezer ya?"

"Iya, abang."

"Sawi putih yang ditumis pake daun seledri semalem enak tuh. Cocok sama telur dadar bawang bombaynya. Tempenya digoreng semua kan? yang semalem?"masih bicara sambil membolak-balik koran JE. Matanya sih fokus ke koran.

"Iya, Bang. Udah abis semua. Kulkas juga usah kosong tuh."penuh harap dengan respon yang menjanjikan bebas tugas 'klentang...klenteng...kle
ntung' di dapur menjelang jum'atan siang ini.

Am I dremin' or stupid? I think I've been hit by Cupid. But no one needs to know right now
I met a tall, dark and handsome man. And I've been busy makin' big plans. But no....
(ringtone)

"Halo? Bunda? Ada..."si Ndut sudah keburu menjawab telfon begitu dilihatnya papa yang nelfon. Unfortunately, he pushed the speaker.

"Ya, Pa?"

"Sa, papa lagi dipasar keluarga sama mama. Ada buntut nih. mo nge.sop gak? Kalo mau nanti papa belikan dulu"

"Iya, pa. Boleh. Nanti saya jemput ke rumah selesai dari workshop. Sekitar jam sepuluhanlah, Pa. Makasih ya, Pa."langsung. tanpa tedeng aling-aling. Penuh semangat Si Abang menjawab pertanyaan papa, sang mertua.

HP off. Wajahnya sumringah. Mata berbinar-binar. Langsung beranjak dari kursi, menandaskan teh yang masih tersisa. Dan menghampiri rio, kemudian berbisik (dengan agak sedikit keras) di telinganya..."ssstt, kita nanti siang makan sop buntut!".

"Biar abang yang ambil buntutnya ke tempat mama. Wortel, daun seledri ma daun bawang biar sekalian nanti abang beli di warung. Pake kol ga? Beli aja ya yang kecil."

Dan si Bunda? Terdiam! Hilang harapan untuk bisa terbebas dari klentang...klentung...di dapur Justify Fullmenjelang jum'at. Raib bayangan untuk bisa leyeh-leyeh di depan TV sambil nunggu suami pulang jum'atan dengan tiga bungkus nasi kapau Uni Evi.

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di