Skip to main content

Laskar Pelangi: Tangga Untuk Jutaan Mimpi Lintang


Aku penggila tetralogi Laskar Pelangi, walaupun sedikit kecewa dengan akhir yang tidak bahagia dan judul yang tidak menggambarkan keseluruhan cerita pada buku keempatnya.  But more than that, Andrea Hirata has blown new spirit in my life about dream.  Everything comes from a dream.  Yup.  Benar! Dan dari mimpi kita menyusun sebuah strategi untuk menggapainya, tak perduli dilapisan langit keberapa mimpi itu digantungkan.  If there is a will, there is a way.  

Yang menjadi masalah adalah bukan hanya sekedar gelak tawa pada buku pertama, kedua, dan ketiga melainkan sebuah perenungan bahwa mimpi yang dimiliki oleh seorang anak miskin yang nyaris tidak punya apa-apa dan siapa-siapa ternyata memang tidak memiliki tangga untuk menggapainya.  Lintang.  Namanya Lintang.  Kalau saja saat itu pemerintah di daerah Belitong tanggap akan nasibnya,  nyaris pasti ia akan menjadi seorang technocrat kedua setelah Habibie.  Kalau saja....! Kalau saja waktu bisa diputar ke masa lalu, seperti jam besar di stasiun kereta dalam film The Curious Case of Benjamin Button, nasibnya tentu tak akan sama.

Dan sekarang? Setelah Lintang memberikan kesaksian berupa jalan hidupnya yang diperankan oleh orang lain dalam film Laskar Pelangi yang dapat dinikmati secara audio visual, akankah ada tangga untuk meraih mimpi Lintang-Lintang lain

Comments

Popular posts from this blog

Sampai Jumpa, Angga

Sabtu pagi, 24 Mei 2020, pukul 07.22 ia masih melakukan panggilan video ke ponselku, namun tak terangkat. Kami bertemu dalam panggilan video selanjutnya melalui ponsel ibuku sekitar pukul 09.00 di rumah Jatra, rumah yang melengkapi puzzle masa kecilnya, rumah tempat ia pulang tiga tahun lalu. Ada yang berbeda pada wajahnya di lebaran pertama itu. Lebih tirus dan pasi. Kulihat kilauan buliran keringat di keningnya. Rambutnya basah. Jelas ia sedang tidak begitu sehat. Pun begitu, setiap kata, senyum, dan deraian tawanya tetap menyegarkan. Kami saling memohon maaf. Ia berbicara sambil merangkul maminya.  "Uni, maafkan Angga lahir batin ya, Ni. Insyaallah kita nanti ketemu di Jambi,"ucapnya sembari melambaikan tangan gempalnya.  "Iya. Uni tunggu, ya." "Insyaallah, Ni,"pungkasnya sebelum ia menepi dan membiarkan maminya berbicara. Sapa, maaf, dan tawa mengalir ke satu-persatu pasukan Pakis 74.  "Uni, bisakan kami nginap di ru

Friends of Mine

They are special, They are friends of mine, Who coloring my life canvas with thousand rainbows, even in the winter... when the snowstorm said hello out side the window, and the Holland's skies were gray, it's my friends who make the snow turns to sunlight, and bring blue to my sky. *( Hanya berselang beberapa jam dari Mario Teguh. Melintas bayangan kebersamaan dari Manggarai-Bandung, Manggarai-Depok, Soekarno-Hatta-Schiphol, Amsterdam-Zurich, Eindhoven-Paris, Nijmegen-Achen,etc...! With love and laugh, for sure...... )

Witir Si Sulung

Malam Kamis kemarin, anak bujang kecil saya melakukan sesuatu yang membesarkan hati saya, ibunya. Saya seketika merasa teramat mujur. Malam itu seperti malam-malam yang lain. Pukul delapan adalah waktu tidurnya. Waktunya kami berbaring. Waktu yang selalu ia gunakan memeluk saya erat-erat. Waktunya saya tak putus-putus menciumi wajah dan kepalanya. Waktu saat saya membacakan kisah-kisah teladan Muhammad dan sahabat-sahabat beliau sebelum akhirnya ia lelap. Kami sudah di tempat tidur, berpelukan, saat ia sekonyong-konyong duduk dan bergerak turun.  "Hamzah mau ambil wudu dulu..." "O, iya...Bilal selalu melakukan itukan, ya..."ujar saya. Saya buntuti ia ke kamar mandi. Saya perhatikan dengan saksama ia membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, dan kakinya.  Ia tersenyum.  "Witir tiga rakaat boleh, Bun?"tanyanya. Saya termangu. Ia bingung. Mengapa ibunya mendadak hening? "Bun..."panggilnya sambil menempelkan kepalanya di