Skip to main content

Tentang Ibu (1)

Ada yang berubah dari Ibu.  Perubahan yang membahagiakan. Kerinduannya yang terobati pada tanah suci, Kabah, dan makam Rasulullah telah membuat Ibu kembali seperti tahun-tahun sebelum 2016.  Ibu kembali sehat. Lahir dan batin.

Setelah hampir tiga minggu Ibu bersama kami, baru malam lusa kemarin saya lama bercengkerama di kamar beliau. Izzati belum mengantuk.  Jadi sengaja saya membawa cucu bungsunya itu bermain-main di tempat tidur beliau.  Sambil bermain dengan Izzati, saya bertanya tentang banyak hal mengenai kepergiannya ke tanah suci di awal 2017 kemarin.

Ibu begitu bersemangat menceritakan pengalamannya.  Posisinya yang semula duduk, berganti menjadi berdiri.  Tangannya bergerak lincah memperjelas berbagai kegiatan yang dilakukannya di sana. Matanya berbinar-binar. Air mukanya berseri-seri. Tak terbayangkan skala kebahagiaan yang melingkupi hatinya ketika menjejaki Baitullah. Ibu kami memang sudah lama sekali ingin ke Kabah.

Semasa almarhum Bapak masih ada, keinginannya yang menggebu itu belum dapat diwujudkan. Terlebih pada tahun-tahun terakhir Bapak, Ibu total mencurahkan seluruh perhatian dan tenaganya untuk merawat Bapak yang kondisi kesehatannya semakin menurun.  Penurunan fungsi kerja jantung Bapak membuat Ibu harus siap berada di samping Bapak kapan pun nyeri dadanya terasa. Hanya Ibu yang bisa membuat nyeri itu mereda. Hanya Ibu dan sebotol minyak angin cap Kapak. Di tahun-tahun terakhirnya, Bapak tidak pernah mau Ibu jauh. 😊

Setelah kepergian Bapak, setelah semua urusan pensiun dan sebagainya diselesaikan, Ibu tidak serta-merta bisa ke tanah suci. Beberapa aral menghalangi. Meskipun begitu, prasangka Ibu tetap baik kepada Allah. Allah itu Al-Muhshii, perhitungan-Nya tentang apa saja akan selalu tepat. Itu yang selalu ditekankan Ibu kepada kami.  Termasuk kapan Ibu kami dapat mengunjungi rumah-Nya.

Namun, kerinduan Ibu yang sangat besar pada Al-Bait tanpa disadari membuat Ibu jadi mudah menangis. Ibu mulai terlihat ringkih. Apapun yang menjadi topik pembicaraan akan selalu bermuara pada tanah suci, Kabah, dan makam Rasulullah. Apapun itu. Siapapun yang datang bersilaturahmi akan dilepas Ibu pulang dengan satu permintaan "Tolong doakan ya supaya Aku sehat dan bisa dimudahkan Allah ke sana".  Selalu.

"Aku titip saja doa ke semua yang datang, Nak. Ga papa ya? Kita kan tidak tahu doa siapa yang diijabah Allah."ucapnya saat itu, setahun yang lalu ketika Izzati masih tiga bulan.

Begitulah Ibu kami. Tidak hanya pada Tuhannya, ia juga selalu berprasangka baik pada setiap orang.

Pengulangan yang selalu dilakukan setiap kali berbicara, air mata yang sangat mudah menitik, dan gerakan yang tidak sesigap biasanya, kami simpulkan sebagai penanda semakin menuanya Ibu. Saya sendiri berusaha sabar dengan hal-hal yang selalu diulang-ulangnya. Suatu saat nanti saya juga akan menua. Saya juga akan menjadi seorang yang pelupa dan penangis. Kami, saya dan suami, berpikir bahwa kemunduran fisik dan pikiran ibu akan permanen.

Januari tiba. Allah memutuskan bulan itu sebagai waktu yang terbaik untuk keberangkatan Ibu dengan ditemani sulungnya ke tanah suci. Dijadikan-Nya Ibu sehat dan kuat. Ibu yang biasanya tidak pernah bisa berkompromi dengan minuman dingin, entah bagaimana bisa, dengan segala kuasa-Nya, kok ya kami yang di Indonesia malah dibikin takjub dengan salah satu foto Ibu yang sedang menikmati es krim. Allah memang Maha Segala ya, Bu. Kekhawatiran kami akan kesehatan ibu tidak menjadi nyata. Ibu betul-betul dapat beribadah dengan kondisi prima. Segala puji pada  yang bertakhta di Arasy sana.

Namun, sekembalinya Ibu ke Jakarta, kondisi beliaau yang semula bugar justru berubah drastis.  Kesehatannya drop. Jujur saja, melihat ibu yang sangat kesulitan bernafas membuat kami ketakutan. Perubahan cuaca yang ekstrim dan salju yang menggila di Turki membuat paru-paru Ibu mengalami masalah. Lebih kurang satu minggu ibu dirawat di rumah sakit. Ketika telah diperbolehkan pulang pun, Ibu belum memperlihatkan kemajuan yang berarti selama beberapa minggu. Sampai akhirnya Ibu dirawat oleh kakak di Depok.  Ibu perlahan pulih.

Hampir setahun tidak bertemu Ibu, membuat saya tidak memiliki gambaran pasti bagaimana kemajuan Ibu setelah terakhir beliau sakit. Komunikasi via telfon tentu saja tidak cukup menggambarkan bagaimana kondisi terkahir ibu.  Yang ada di kepala saya adalah kondisi yang tidak jauh berbeda seperti terakhir Ibu bersama kami di Jambi, beberapa bulan setelah kelahiran Izzati. Ibu ringkih, mulai pikun, dan mudah sekali menangis. Hal ini yang membuat saya agak sedikit tidak yakin ketika kakak ipar berencana untuk berlibur ke Padang setelah lebaran.  Dengan ibu juga tentunya. Belakangan saya juga baru diberi tahu kakak bahwa sebenarnya beliau juga was-was dengan kesehatan ibu. Kuat atau tidak ibu ikut berkeliling Sumatra Barat selama satu minggu. Mengingat dan menimbang kondisi ibu tentunya.

30 Juni kami berkumpul kembali. Ternyata Ibu jauh lebih sehat dan segar dari tahun lalu. Perjalanan darat dari Jambi-Sumatra Barat tidak menjadi masalah. Tidak ada sama sekali keluhannya, kecuali makanan tanpa cabai yang langka ditemui di sepanjang perjalanan 😃. Danau Singkarak, Istana Pagaruyung, Kelok Sembilan, Harau, Situjuah Baso, Bukittinggi, Puncak Lawang, Danau Maninjau, dan Padang hingga kembali lagi ke Jambi, semua dinikmatinya sepenuh hati. Senang melihat Ibu menikmati setiap momen tanpa gangguan lambung atau encok.

Barulah setelah tiga minggu Ibu di rumah, kami mulai ngeh kalau Ibu tidak sama dengan Ibu tahun lalu. Ibu kembali lincah seperti ketika Bapak ada. Beliau kembali gesit mengerjakan banyak hal. Beliau tidak lagi berulang-ulang menceritakan berbagai hal seperti setahun lalu.  Beliau tidak juga mudah menitikkan air mata.  Beliau pun tidak pikun.

Ah, Bu...kecintaanmu pada-Nya, siapa yang bisa meragukan?

Semoga Ia selalu memberikan Ibu kesehatan yang baik. Semoga diberinya Ibu keberkahan usia sehingga bisa terus mendoakan kami disetiap akhir sujud Ibu. 😍


Comments

Popular posts from this blog

Senin, 13 Juni 2016; 22.14 WIB

Alhamdulillah sudah ditamatkannya Iqra 1 semalam di bilangan usianya yg baru 4 tahun 3 bulan 11 hari.  Sudah dengan lancar dibacanya seluruh deretan huruf Hijaiyah dengan susunan runut, acak, maupun dr belakang. Bukan hal yg istimewa utk Musa sang Qori dari Bangka Belitung mungkin, tetapi ini menjadi berkah luar biasa untuk kami. Semoga Allah selalu memudahkanmu untuk menyerap ilmu-ilmu Islam berdasarkan Quran dan teladan Rasulullah ya, Nak. Semoga ilmu-ilmu itu nanti senantiasa menjadi suluh yg menerangi setiap langkahmu dlm menjalani kehidupan ke depan dengan atau tanpa ayah bunda. Semoga juga ilmu itu tak hanya menjadikanmu kaya sendiri, tetapi membuat orang-orang disekelilingmu pun merasakan manfaatnya karena ilmu yg bermanfaat itu adalah ilmu yg bisa diberikan dan bermanfaat bagi orang lain di luar dirimu. Allah Maha Mendengar. Dengan doa dan pinta Bunda, Allah pasti akan mengabulkannya. Amin. 😍

Hamzah di 1 Ramadan 1440

Ramadan hari pertama, Hamzah alhamdulillah dapat selesai sampai akhir. Tidak terhitung berapa kali ia menanyakan waktu berbuka. "Masih lama ya, Bun?", "Hamzah haus sekali. Gimana nih?", "Berapa jam lagi bukanya?", "Hamzah rasanya mau minum...", dan lain sebagainya.  Dengan es krim sebagai hadiah jika puasanya dapat bertahan sampai magrib, anak saleh kami itu pun kuat juga akhirnya.  Tahun lalu ia berpuasa hingga tiga hari di awal Ramadan kalau saya tidak salah. Tahun ini semoga ia bisa berpuasa hingga Ramadan usai. Kami ingin ia dapat memaknai setiap haus dan lapar yang dirasakannya dari pagi hingga menjelang matahari tergelincir di lengkung langit. Kami ingin ia dalam sebulan ini mencoba menjadi anak-anak yang tak seberuntung dirinya. Kami ingin Hamzah selalu ingat bahwa Allah telah memberikannya banyak nikmat. Kenikmatan yang tidak semua anak bisa merasakannya. Kami ingin ia bertumbuh dengan kemampuan berempati terhadap berbagai kes...

Jakarta (Cubing Method)

This is a kind of writing that we had to make today.  Shane just wanted to introduce us how to write a topic by using cubing method.  So, here is the result of mine.  I tried to describe the topic in a letter for my friend.  Let's read! Dear Wahyu,            Hi, how are you? Hopefully you are well.  Let me tell you about everything I have felt since the first time I came to Jakarta 2 months ago.           Perhaps everybody will say that I am a fool being not comfortable live in Jakarta.  But that is true.  I have to fight here.  You wanna know why? First, it's hard to find fresh air to breath to breath out of the building.  All that come to my lungs is just smoke of cars, buses, motorcycles, and bajai.  Second, I have to prepare coins everywhere I go because there will be many unlucky people who show their suffered faces and hope money from my pocket.  Then? Okay...I give some to them.  Third, I cannot see many trees and flowers which grow by themselves, or birds flying at...