Skip to main content

Rendang Rempong Nikmat


Rendang, makanan khas Minangkabau yang mendunia, siapa yang tak suka? Saya masih ingat ketika konsultasi tesis dengan pembimbing saya, Leah Robert, yang berkewarnegaraan Inggris itu...disaat jeda...iseng-iseng saya bertanya tentang makanan yang paling disukainya...dan beliau langsung menjawab RENDANG.  Saya terdiam tetapi sambil tersenyum.  Sumringah! Bangga doooonkkk.  Langsung saja saat itu saya janjikan kalau saya akan membuatkannya rendang.  Waahh...jangan ditanya reaksinya atas janji yang saya lontarkan.  Matanya berbinar-binar dan tangannya tergenggam menempel di dada sebagai tanda beliau begitu berterima kasih. 

Itu sekilas pengalaman saya yang menggambarkan betapa rendang menjadi nomor satu di lidah yang bukan asli Indonesia, apalagi lidah Minang.  Karena rendang sudah merupakan salah satu hidangan wajib hampir dalam setiap hari besar di Indonesia dan termasuk juga hidangan yang tak bisa ditinggalkan dalam setiap hajatan, seperti pesta pernikahan, sunatan, dan selamatan, maka siapapun dari manapun asalnya, khususnya ibu-ibu, bisa dipastikan akan bilang 'bisa donk' jika ditanya apakah mereka bisa membuat rendang.  Itulah mengapa, menurut saya, rendang sekarang ini memiliki rasa yang disesuaikan dengan asal daerah si pembuatnya.  Misalnya nih ya...tidak usah jauh-jauh...ketika saya berlebaran di tempat mertua yang asli Kebumen tetapi merantau ke Jakarta dari tahun 60an, maka ketika beliau membuat rendang, rendangnya ya rendang yang tidak pedas.  Begitu juga dengan rendang yang dibuat oleh istri kakak ipar saya yang asli Betawi. 

Naahh...apa yang terjadi ketika kemudian saya yang asli Minang dengan pakem pembuatan rendang yang diturunkan dari ibu dan nenek saya, membuat rendang seratus persen selera Minang di Jakarta? Mertua dan ipar-ipar saya terkaget-kaget bahagia melihat bagaimana rempongnya saya (menurut mereka) mempersiapkan segala bumbu, santan, dan daging yang akan dimasak.  Belum lagi proses memasaknya yang puanjaaaang dan luaaamaaaa.  Tetapi itulah saya! Ditengah segala kepraktisan yang disuguhkan supermarket akan produk instan, semisal bumbu-bumbu kering, santan kemasan, dan daging impor yang terlihat segar bersih menggiurkan di dalam lemari pendingin, saya tetap lebih memilih 'berjuang' meracik seluruh rempah dan memeras sebaskom parutan kelapa untuk rendang saya sendiri.  Bumbu-bumbu siap pakai yang telah dihaluskan di pasar tradisional saja tak sudi saya pakai, apalagi yang kering.  Hmmm...entahlah...saya tak tergiur! Repot kan saya?  Tetapi ya itulah saya.  Suka repot sendiri memang apalagi kalau sudah berkaitan dengan urusan perut dan mata.  Susah untuk kompromi kalau ada yang kurang-kurang sedikit.  Walhasil, setelah perjuangan saya selesai dan rendang yang saya masak dari pagi baru selesai menjelang maghrib dengan genangan bumbu-bumbu yang biasa saya dan keluarga sebut dengan 'dedak' (bukan dedak pakan ternak loh ya) berwarna coklat pekat berminyak kental yang menerbitkan selera di kuali besi berdiameter lebih kurang 75 cm, lalu dihidangkan dan disantap bersama...maka sontak lelah saya seharian hilang terbang entah kemana melihat wajah-wajah puas yang makan dengan lahap tanpa sisa hingga suapan terakhir.  Apalagi ketika melihat wajah almarhum bapak mertua yang berkonsentrasi tinggi menikmati rendang saya yang baru matang.  Ah, Pak. Jadi rindu! Rindu lihat bapak bolak-balik bertanya...."Sudah matang belum?".

Bicara soal enak atau tidak? Relatif lah ya.  Lidah orang kan beda-beda.  Tetapi secara umum biasanya makanan yang dibuat oleh tangan asli dari daerah mana makanan itu berasal tetap akan berbeda.  Sama seperti ketika saya membuat pindang gabus atau kuah pempek (cuko), rasanya tidak pernah sama seperti yang dibuat oleh teman saya yang asli Palembang (colek Maryani).  Jika yang bukan Minang biasanya akan membuat rendang dengan perbandingan satu kg daging sapi maka santannya cukup dari satu butir kelapa saja.  Maka kami, si Minang ini, khususnya yang saya pelajari dan diturunkan dari nenek dan ibu saya, 1 kg daging sapi jodohnya adalah santan dari empat butir kelapa dengan jenis kekentalan yang juga harus dipisahkan, dan lebih repot lagiiiiii....jika kelapanya jenis kelapa pantai...maka usahakan lebih dari empat butir kelapa agar minyak santannya bisa keluar.  Lebih repot lagi kan?  Tetapi percayalah...hasilnya tidak akan mengecewakan.  Mau mencoba untuk repot? Yuk mariiii...silahkan di coba sendiri dengan resep yang saya buat dibawah ini.  Monggooo...!

Bahan-bahan:

1 kg daging sapi bagian as, dipotong menjadi 30 potong.
1/4 kg kacang merah 
4 butir kelapa, pisahkan santan kentalnya.

Bumbu yang dihaluskan:
300 gram lengkuas
150 gram jahe
300 gram bawang merah
200 gram bawang putih
250 gram cabai yang telah dihaluskan (sesuai selera)
1 sendok teh garam (sesuai selera)
7 butir cengkeh
2 butir buah pala
tiga lembar daun salam
lima lembar daun jeruk
dua lembar daun kunyit
tiga batang serai

Cara Pembuatan:
1.  Campur daging sapi dan bumbu yang telah dihaluskan.  Diamkan sekitar lima belas menit agar bumbu meresap ke dalam daging.  Kemudian baru diungkap sekitar 30 menit.

2.  Setelah daging yang diungkap mengeras dan air daging beserta bumbu terlihat mulai mengering, pisahkan daging ditempat terpisah.

3.  Masukkan santan cair ke dalam bumbu daging, masukkan juga kacang merah, masak sambil diaduk, hingga santan mengental dan mengeluarkan minyak.

4.  Setelah santan mengeluarkan minyak dan mengental, masukkan daging yang tadi dipisahkan berikut santan kental.

5. Pada tahap ini, api kompor atau tungku jangan terlalu besar dan pastikan rendang diaduk dengan baik sehingga bagian bawah rendang tidak hangus dan daging tidak hancur.

6.  Rendang siap dihidangkan jika warnanya telah berubah menjadi coklat pekat dan jika ingin dibuat menjadi hitam, api kompor/tungku tetap dalam dalam keadaan kecil sambil sesekali rendang di aduk untuk meratakan warna rendang.

Biasanya pembuatan rendang hingga menjadi berwarna coklat pekat dan hampir hitam membutuhkan waktu paling sedikit enam jam.  

Selama ini biasanya yang bukan asli Minang akan menyebut rendang untuk kalio daging.  Kalio daging itu adalah tahapan dimana masakan daging tersebut masih berkuah kental dengan warna coklat terang.  Sedangkan rendang warnanya coklat pekat bahkan ada yang sampai hitam, tetapi bukan hitam hangus ya.

Setelah membaca resep rendang saya di atas, mungkin akan timbul pertanyaan nih...repotnya dimana ya? Kan ada blender ini? Ada juga sekarang santan yang sudah bisa dibeli hasil perasan langsung.  1 kg santan peras kentalnya saja itu biasanya dari empat kelapa.  Ga ribet kan? Iya...betul..! Tetapi sebaiknya tidak serta merta langsung main tunjuk untuk minta 1 kg saja loh ya.  Karena kalau kelapanya muda mah santannya tidak akan berminyak.  Rendangnya malah tidak bagus jadinya.  Jadi baiknya, saya sarankan untuk memilih sendiri kelapa yang akan diparut dan diperas dengan catatan pilihlah kelapa yang cukup tua.  Dan pastikan juga jika membeli cabe halus yang sudah digiling, bau cabe tidak asam.  Begitu juga dengan bumbu-bumbu halus seperti lengkuas dan jahe.  Riskan sih masalahnya.  Itu juga yang menjadi alasan saya selama ini untuk menghaluskan semua bumbu di rumah.  Repotnya di situ! Apalagi kalau masak rendangnya di tungku berbahan bakar kayu.  Weee....jangan ditanya peluh yang membanjiri raga.  Hahaha! Tetapi ya itu tadi...tidak bisa disangkal, usaha itu berbanding lurus dengan hasil.  Jadi tetap rendang yang dari tungku itu menurut saya lebih aduhai rasanya ketimbang yang dari kompor.  Nah sekarang percaya kan kalau mau diikutin, beneran repot!  Tetapi kalau sudah jadi, bahagianya di hati lohh! 

Selamat mencoba!


Comments

Popular posts from this blog

Senin, 13 Juni 2016; 22.14 WIB

Alhamdulillah sudah ditamatkannya Iqra 1 semalam di bilangan usianya yg baru 4 tahun 3 bulan 11 hari.  Sudah dengan lancar dibacanya seluruh deretan huruf Hijaiyah dengan susunan runut, acak, maupun dr belakang. Bukan hal yg istimewa utk Musa sang Qori dari Bangka Belitung mungkin, tetapi ini menjadi berkah luar biasa untuk kami. Semoga Allah selalu memudahkanmu untuk menyerap ilmu-ilmu Islam berdasarkan Quran dan teladan Rasulullah ya, Nak. Semoga ilmu-ilmu itu nanti senantiasa menjadi suluh yg menerangi setiap langkahmu dlm menjalani kehidupan ke depan dengan atau tanpa ayah bunda. Semoga juga ilmu itu tak hanya menjadikanmu kaya sendiri, tetapi membuat orang-orang disekelilingmu pun merasakan manfaatnya karena ilmu yg bermanfaat itu adalah ilmu yg bisa diberikan dan bermanfaat bagi orang lain di luar dirimu. Allah Maha Mendengar. Dengan doa dan pinta Bunda, Allah pasti akan mengabulkannya. Amin. 😍

Hamzah di 1 Ramadan 1440

Ramadan hari pertama, Hamzah alhamdulillah dapat selesai sampai akhir. Tidak terhitung berapa kali ia menanyakan waktu berbuka. "Masih lama ya, Bun?", "Hamzah haus sekali. Gimana nih?", "Berapa jam lagi bukanya?", "Hamzah rasanya mau minum...", dan lain sebagainya.  Dengan es krim sebagai hadiah jika puasanya dapat bertahan sampai magrib, anak saleh kami itu pun kuat juga akhirnya.  Tahun lalu ia berpuasa hingga tiga hari di awal Ramadan kalau saya tidak salah. Tahun ini semoga ia bisa berpuasa hingga Ramadan usai. Kami ingin ia dapat memaknai setiap haus dan lapar yang dirasakannya dari pagi hingga menjelang matahari tergelincir di lengkung langit. Kami ingin ia dalam sebulan ini mencoba menjadi anak-anak yang tak seberuntung dirinya. Kami ingin Hamzah selalu ingat bahwa Allah telah memberikannya banyak nikmat. Kenikmatan yang tidak semua anak bisa merasakannya. Kami ingin ia bertumbuh dengan kemampuan berempati terhadap berbagai kes...

Jakarta (Cubing Method)

This is a kind of writing that we had to make today.  Shane just wanted to introduce us how to write a topic by using cubing method.  So, here is the result of mine.  I tried to describe the topic in a letter for my friend.  Let's read! Dear Wahyu,            Hi, how are you? Hopefully you are well.  Let me tell you about everything I have felt since the first time I came to Jakarta 2 months ago.           Perhaps everybody will say that I am a fool being not comfortable live in Jakarta.  But that is true.  I have to fight here.  You wanna know why? First, it's hard to find fresh air to breath to breath out of the building.  All that come to my lungs is just smoke of cars, buses, motorcycles, and bajai.  Second, I have to prepare coins everywhere I go because there will be many unlucky people who show their suffered faces and hope money from my pocket.  Then? Okay...I give some to them.  Third, I cannot see many trees and flowers which grow by themselves, or birds flying at...