Skip to main content

Potret dari Journalist on Duty

Entah apa yang ada di kepala para petinggi negeri dan daerah ketika melihat sekolah-sekolah beratap rumbia, berdinding bambu, berlantai tanah, dan bergurukan dua orang untuk enam kelas. Apa yang ada di hati mereka ketika mendengar para guru honorer berdedikasi itu berkata….”kami bertahan demi anak-anak”. (saya dalam termangu di depan Journalis on duty: liputan daerah di NTT)

Seorang wanita cerdas, anggota DPD NTT, di dalam tayangan yang meretas realita kehidupan di timur Indonesia itu, mengatakan bahwa bukan tanah nenek moyang mereka yang membuat nasib begitu banyak rakyat di daerah tersebut belum terjamah manisnya pendidikan, teknologi, dan kehidupan yang layak, tetapi lebih kepada ketiadaan hati para pemangku kepentingan rakyat (baca: pemimpin dan pejabat) yang hanya sibuk berasyik masyuk dengan kepentingan pribadi mereka sendiri. Pejabat atau pemimpin disana lebih fokus pada belanja barang yang menguntungkan pribadi dan kalangan mereka, seperti pembelian mobil dinas dan barang-barang lain yang tak tersangkut langsung dengan kepentingan rakyat yang sejatinya mereka ayomi.

Tak banyak mata saya berkedip menonton tayangan berdurasi singkat itu. Mulut saya juga lebih banyak terkunci. Hanya kepala saya yang sering menggeleng dan garis bibir saya mungkin lebih tegas, menandakan saya begitu prihatin. Negeriku. Negeri cintaku.

Bagaimana saya bisa tersenyum atau tertawa ketika melalui layar kaca 29” di depan saya, dipertontonkan sebuah keironian. Di sebuah daerah bernama Kota Baru di NTT, disana saya melihat sebuah gambaran yang tidak mengenakkan mata dan hati saya (entah untuk hati dan mata pejabat yang juga menonton acara ini pada saat bersamaan). Sebuah sekolah dasar dengan bangunan lebih mirip kandang sapi yang sering saya jumpai di daerah rimbun seberang Sungai Batanghari. Bedanya, kandang sapi itu basah, dan bangunan sekolah di TV itu kering. Sedikit saya deskripsikan, bangunan itu berdinding bambu, ada bambu yang panjang menutupi seluruh bagian, dan ada juga yang hanya setengah pinggang orang dewasa. Tidak ada daun pintu. Tidak juga jendela. Atapnya hanya rumbia kering yang pada beberapa bagian sudah bolong sehingga membebaskan sinar matahari menjelang siang masuk dan membuat kulit-kulit kering para murid yang kebetulan mendapat jatah duduk di bawah atap yang bolong itu harus sering mengelap wajah mereka yang berkeringat kepanasan. Lantai sekolah membuat kondisi bangunan sekolah malang itu menjadi lengkap . Hanya berupa tanah biasa. Tanah kering berdebu berpasir coklat. Saat kamera disorot untuk melihat lantai, saya juga melihat kaki-kaki kecil yang telanjang di atasnya. Mereka, anak-anak itu, menuntut ilmu tanpa sepatu. Tiga hal yang masih tersisa yang patut disyukuri dengan amat sangat adalah beberapa guru yang pontang-panting membagi badan dan waktu mereka untuk banyak kelas, murid-murid yang masih antusias menggenggam pensil dan menulis di atas buku mereka, lalu sebuah papan tulis putih di depan kelas. Hanya tiga hal itu saja. Tetapi luar biasa.

Lalu dimana ironinya? Gubuk sekolah itu berdiri tak jauh dari sebuah gedung megah pemerintah berwarna putih, beratap biru terang yang dibangun dengan dana milyaran rupiah. Tanpa penghalang. Hanya dipisahkan oleh ilalang kering di tanah lapang yang menjaraki gubuk sekolah itu dan bangunan pemerintah yang megah tersebut. Di belakang sekolah itu juga ada beberapa blok perumahan yang terlihat baru. Sangat dekat, tetapi kondisi ketiga bangunan tersebut bak emas dan suasa.

Tadinya saya pikir hanya bangunan sekolah dasar saja seperti itu kondisinya, tetapi fakta dilapangan yang ditemukan oleh para jurnalis juga menunjukkan bangunan SMP dan SMA yang tidak jauh berbeda dengan kondisi SD sebelumnya. Apa mau di kata?

Jika sudah begini…saya menjadi bertanya dalam hati…sendiri…”Mutu seperti apa yang diinginkan pemerintah dengan infrastruktur pendidikan yang sungguh tak layak begitu?”. Tidakkah mereka malu dengan para guru honorer yang dengan setulus hati tetap mengajar anak-anak cerdas yang tak beruntung di sekolah-sekolah ‘ajaib’ itu? Dua orang guru SMP, berstatus honorer, sarjana, dengan gaji yang digantungkan pada dana BOS sebesar 300 ribu rupiah per bulan, diberikan hanya ketika dana BOS itu cair setelah sekian banyak rintangan birokrasi yang harus diperjuangkan oleh kepala sekolah, berkata…”Saya dan teman-teman bertahan demi anak-anak didik kami…”. Kurang mulia apa mereka? Kesejahteraan yang bagaimana yang selalu diiming-imingkan untuk para guru di daerah sulit yang dipagari lingkaran setan barisan pemangku jabatan yang oportunis dan korup?

Tidak hanya berhenti pada potret pendidikan di daerah itu, para jurnalis pun merambah sisi keseharian para murid setelah mereka kembali dari sekolah. Pelita. Hanya pada pelita bercahaya keemasan yang remang mereka menggantungkan mimpi masa depan melalui usaha untuk belajar, membaca, dan mengerjakan tugas-tugas dari guru di sekolah. Nihil listrik. Absen penerangan yang semestinya bisa membuat mata generasi muda itu bebas menari di atas ratusan huruf-huruf yang mereka baca untuk nutrisi otak mereka.

Beranjak kepada masalah perut, para ibu hanya bisa menumbuk jagung kering untuk pengganti beras. Pengakuan mereka, sudah lumayan lama tak bersua nasi. Jika pun ada beras yang akan dijadikan nasi, temannya hanya irisan tomat merah kecil.

Jika saja bisa, Bung Karno dan Pak Hatta sebagai representasi banyak jiwa-jiwa besar yang berjasa pada masanya, ketika melihat kondisi negeri saat ini yang kemerdekaannya mereka perjuangkan dengan segenap jiwa raga dan idealisme yang tak tergoyahkan, pastilah mereka akan menyembah berharap sangat kepada Sang Maha Pencipta untuk memanjangkan usia mereka hingga seribu tahun. Agar mereka bisa mengisi kemerdekaan ini dengan tangan-tangan mereka, meneruskan mimpi mereka menjayakan Indonesia dengan dedikasi, integritas, dan kebersihan moral mereka. Saya pernah mendengar rekaman dokumentasi Bung Hatta yang berkata bahwa sejatinya kemerdekaan adalah gerbang untuk mewujudkan kemakmuran rakyat Indonesia. Jika saja mereka melihat betapa banyak aspek-aspek vital rakyat terabaikan karena mental korup dan self-centered para pemimpin saat ini yang berdampak pada hilangnya harga diri bangsa dimata dunia, saya yakin mereka memang akan berkata pada Tuhan…”Tolong hidupkan kami lagi, sekali lagi."

Comments

Popular posts from this blog

Senin, 13 Juni 2016; 22.14 WIB

Alhamdulillah sudah ditamatkannya Iqra 1 semalam di bilangan usianya yg baru 4 tahun 3 bulan 11 hari.  Sudah dengan lancar dibacanya seluruh deretan huruf Hijaiyah dengan susunan runut, acak, maupun dr belakang. Bukan hal yg istimewa utk Musa sang Qori dari Bangka Belitung mungkin, tetapi ini menjadi berkah luar biasa untuk kami. Semoga Allah selalu memudahkanmu untuk menyerap ilmu-ilmu Islam berdasarkan Quran dan teladan Rasulullah ya, Nak. Semoga ilmu-ilmu itu nanti senantiasa menjadi suluh yg menerangi setiap langkahmu dlm menjalani kehidupan ke depan dengan atau tanpa ayah bunda. Semoga juga ilmu itu tak hanya menjadikanmu kaya sendiri, tetapi membuat orang-orang disekelilingmu pun merasakan manfaatnya karena ilmu yg bermanfaat itu adalah ilmu yg bisa diberikan dan bermanfaat bagi orang lain di luar dirimu. Allah Maha Mendengar. Dengan doa dan pinta Bunda, Allah pasti akan mengabulkannya. Amin. 😍

Hamzah di 1 Ramadan 1440

Ramadan hari pertama, Hamzah alhamdulillah dapat selesai sampai akhir. Tidak terhitung berapa kali ia menanyakan waktu berbuka. "Masih lama ya, Bun?", "Hamzah haus sekali. Gimana nih?", "Berapa jam lagi bukanya?", "Hamzah rasanya mau minum...", dan lain sebagainya.  Dengan es krim sebagai hadiah jika puasanya dapat bertahan sampai magrib, anak saleh kami itu pun kuat juga akhirnya.  Tahun lalu ia berpuasa hingga tiga hari di awal Ramadan kalau saya tidak salah. Tahun ini semoga ia bisa berpuasa hingga Ramadan usai. Kami ingin ia dapat memaknai setiap haus dan lapar yang dirasakannya dari pagi hingga menjelang matahari tergelincir di lengkung langit. Kami ingin ia dalam sebulan ini mencoba menjadi anak-anak yang tak seberuntung dirinya. Kami ingin Hamzah selalu ingat bahwa Allah telah memberikannya banyak nikmat. Kenikmatan yang tidak semua anak bisa merasakannya. Kami ingin ia bertumbuh dengan kemampuan berempati terhadap berbagai kes...

Jakarta (Cubing Method)

This is a kind of writing that we had to make today.  Shane just wanted to introduce us how to write a topic by using cubing method.  So, here is the result of mine.  I tried to describe the topic in a letter for my friend.  Let's read! Dear Wahyu,            Hi, how are you? Hopefully you are well.  Let me tell you about everything I have felt since the first time I came to Jakarta 2 months ago.           Perhaps everybody will say that I am a fool being not comfortable live in Jakarta.  But that is true.  I have to fight here.  You wanna know why? First, it's hard to find fresh air to breath to breath out of the building.  All that come to my lungs is just smoke of cars, buses, motorcycles, and bajai.  Second, I have to prepare coins everywhere I go because there will be many unlucky people who show their suffered faces and hope money from my pocket.  Then? Okay...I give some to them.  Third, I cannot see many trees and flowers which grow by themselves, or birds flying at...