Skip to main content

Weekends Only

Minggu pukul 11 siang, Erwin nelfon. “Sa, Charly sudah di kereta. Nanti kita langsung ke rumah ya. Soal sepeda aman kan?”. Masih dengan terkantuk, mengiyakan, bilang juga kalau Charly bisa pake sepedaku karena sepertinya aku tidak jadi ikut biking keliling hari ini. Tiba-tiba malas dan punya rencana untuk meneruskan tabulasi data ke excel saja seharian.

Ketika beranjak ke dapur. Menyeduh segelas teh panas, teh bendera yang tertinggal atau memang sengaja ditinggalkan sebagai buah tangan dari anggota PPI yang berpesta makan malam ala Indonesia di rumah kemarin malam. Minum beberapa teguk kemudian buru-buru membuka kulkas. Ada tempe, ayam yang dari semalam sudah dikeluarkan dari freezer, dan cabe hijau. Lalu melintas bayangan mereka-mereka yang akan bersepeda ria siang ini. Satu, wajah wakil ketua PPI Belanda yang akhirnya memutuskan untuk tetap datang dan saat itu mungkin sudah sampai di stasiun Ede-Wageningen. Dua, wajah wakil ketua PPI Maastricht yang telah datang dari hari Jumat. Bersemedi dari keriuhan Maastricht untuk berkonsentrasi dengan thesis dan tugas-tugasnya. Dan ketiga, wajah Erwin, the ‘Okay’ man alias manusia yang tak pernah bisa bilang ‘tidak’ untuk setiap orang yang membutuhkan uluran tangan dan ulura euronya juga kadang-kadang.

Maka, bergegaslah ayam-ayam yang tak lagi beku itu diracik dengan bumbu. Diungkep sekitar 15 menit. Tempe pun telah diiris untuk dibuat mendoan dan siap digoreng dengan bumbu tepung ala Evan. Tepung kobe yang dicampur dengan tepung terigu ditambah irisan daun bawang dan seledri. Lumayan untuk bekal makan siang mereka. Persis baru akan memantikkan api ke kompor, bel berteriak. Erwin datang. Lengkap dengan Charly dan Bram. Menu utama jika bertemu si raja tawa. High five dan ngakak! Bram? Seperti biasa. Senyum simpul tapi manis. “Sa, ikut ya…! Ayolah….”. Ajakan pertama dari Charly. “Sebenarnya sih memang mo ikut. Tapi badan berasa ga enak nih. Jadi kamu bisa pake sepedaku”. Dan Erwin menimpali…”Tuh, Charly bawa kamera dan tripod”. Ku lirik dua benda yang berada di ujung meja makan. Masing-masing masih terbungkus covernya. Tiba-tiba saja badan menjadi lebih enakan. Segar bugar! “Okay! Kalo gitu aku goreng tempe dan ayam dulu ya. Buat makan siang. Lesehan nanti". Syukurnya Ana pun berinisiatif untuk membuat mie aceh karena memang masih berutang menu itu pada Charly dan Bram. Pada teman-teman lainnya juga sebenarnya. Tapi karena yang datang hanya berdua itu, maka dianggap tunai sudah hutangnya, diwakili oleh Charly dan Bram.

Masakan kelar. Ayam goreng, tempe mendoan, mie aceh, nasi putih, dan dua kotak nasi ayam yang dibawa Erwin plus minuman dan buah-buahan. Lengkap! Siap-siap. Ambil kunci sepeda Lee, pinjam juga kunci sepeda Alfi. Bahkan Charly masih sempat mengetuk pintu kamar Lee sebelum turun dan bilang “Hi, Lee…”. Pompa ban terlebih dahulu sebelum jalan. Tugas tambahan juga buat Charly dari Lee. Memasang bel sepedanya. Tak sampai 15 menit. Kami pun memulai siang menuju jembatan kereta. Tujuan pertama, menikmati pemandangan dari Nijmegen Benedenstad, wilayah Nijmegen diseberang sungai Waal. Matahari benar-benar bersahabat. Hangat! Wajah-wajah pucat penduduk asli terlihat berubah warna menjadi merah muda. Beraneka ragam aktivitas yang mereka lakukan. Tak cukup hanya dengan berseliweran, berisisian bersepeda, ada juga yang membawa kamera dengan lensa DSLR mengambil gambar gereja St. Stevenstoren, gereja tertua dan terbesar di Nijmegen, yang dibangun pada abad ke tujuh. Ada juga yang menikmati atraksi jet ski, ada yang jogging, jalan santai sambal bergandengan tangan, dan selalu ada…ibu-ibu dengan kereta bayi mereka. Kereta bayi warna pink! Lalu pasangan opa oma yang begitu romantisnya, hand in hand along the railway bridge.


Sampai di Nijmegen Benedenstad, sepeda digembok berendengan berempat. Lalu kami berjalan melintasi rerumputan. Mesti waspada sesekali melihat ke bawah agar kaki tak menginjak ranjau-ranjau dari sapi-sapi gemuk yang sedang merumput. Sambil melintasi rerumputan dan kawanan sapi, Charly berbagi informasi tentang bagaimana susu-susu sapi itu diperah dengan menggunakan teknologi canggih berupa pemeras otomatis, sapi-sapi yang telah dilengkapi dengan sebuah chip akan datang dengan sendirinya pada alat tersebut secara bergiliran. Charly mendapatkan informasi itu dari temannya di fakultas kedokteran hewan Universitas Utrecht. Sampai di pinggir sungai Waal, Bram mulai menggerutu dengan fakta yang ada tentang pasir-pasir di sepanjang tepian. Menurut Bram, yang seumur hidupnya bergelut dengan pasir pantai di Bali, pasir-pasir itu fiktif belaka. Dalam artian, bukan asli pasir setempat, tetapi dibawa dari tempat lain, berikut kerang-kerang kecil yang kami temui. Tak banyak, hanya beberapa saja.


Bram bilang…”Ini mereka sebut pantai dan girang sekali. Bagaimana kalau ke pantai dalam arti yang sesungguhnya?”. Tak hanya itu, Charly pun berusaha keras memikirkan, fungsi payung yang dipakai sekelompok orang di sebelah kiri kami yang hanya berjarak beberapa meter. Payung itu hanya berdiameter tak lebih dari 50 cm. Dan mereka ada bersepuluh agaknya. Belakangan baru kutemukan jawabnya, mereka menggunakan payung itu untuk melindungi minuman dan makana mereka agar tetap dingin barangkali. Mungkin…! Lalu mata lirik kiri kanan, melihat pemandangan ‘indah’ di tepian sungai dan pemandangan indah lainnya di seberang sana. Jeprat-jepret, gelar tikar, jeprat jepret lagi, dan lipat tikar kembali. Bekal urung dikeluarkan. Tak sedap makan disini. Tak ada pohon rindang yang menaungi. Putar haluan, kami kembali mengayuh sepeda ke arah Nijmegen Waal Bridge. Lebih nyaman menyantap makan siang menjelang sore di dekat benteng yang telah menjelma menjadi restoran, di belakang museum Museum Het Valkhof.


Pukul 3, akhirnya menu yang dibawa baru bisa disantap. Lapar tak terhingga. Pukul 4, yang tersisa tinggal pencuci mulut berupa buah-buahan dan minuman kotak. Duduk sejenak memberikan kesempatan kepada makanan untuk turun hingga lambung sambil menikmati jembatan sungai Waal. Angin yang bertiup tidak sehangat ketika pergi tadi. Kali ini lebih dingin. Tetapi tetap tak menyurutkan semangat untuk foto-foto dengan pose andalan masing-masing. Setengah jam kemudian, kami kembali berbenah untuk melanjutkan kayuhan sepeda ke Kronenburgerpark di dekat Central Station.


Di Kronenburgerpark ternyata lebih banyak yang bersantai. Menggelar tikar, menikmati sinar matahari sore, bermain dengan anjing peliharaan mereka, bermain kartu, ada juga yang membawa alat musik, dan ada juga yang khusyuk belajar dengan posisi tengkurap. Bukan main! Bram salah satunya! Jika pelajar-pelajar bule yang belajar di taman ini berbaring dengan posisi tengkurap, maka Bram membaca materi untuk tutorialnya besok dengan posisi menghadap langit biru. Sesekali miring ke kanan dan kiri. Dan terpaksa berhenti jika ada panggilan untuk berpose. Charly? Sobat satu ini sibuk memperhatikan sekitar. Sayang jika dilewatkan tentunya. Erwin? Lebih sibuk lagi! Sibuk mencari sudut yang pas untuk menegakkan tripod, jika sudah pas, maka harus menyesuaikan salah satu kaki agar tak miring seperti kontur tanah yang kami duduki, baru kemudian mengarahkan gaya yang tak kalah pasnya dengan background sekitar. Ana? Bunga! Ana dan bunga-bunga! Berkeliling mencari objek bunga disekeliling untuk masuk ke kamera digitalnya. Segala warna dan segala rupa! Lengkap. Mulai dari kuning, jingga, putih, merah dan lila. Hanya rumput saja yang tak diabadikannya dengan sengaja. Sayang kami tak membawa permainan apa pun. Jadi terpaksa menjadi penonton untuk berbagai kesibukan orang-orang yang berjemur di depan kami.



Walaupun begitu, tetap riang. Segala paper dan thesis serta pirantinya terlupakan sejenak. Hingga kembali ke rumah pukul 6 sore dan mengucapkan sampai jumpa pada Bram dan Charly sesaat setelah mereka mengunci kembali sepeda Lee dan Alfi yang telah seharian dikayuh mengelilingi Nijmegen.

(Nijmegen, Monday, April 19, 2010)

Comments

Popular posts from this blog

Senin, 13 Juni 2016; 22.14 WIB

Alhamdulillah sudah ditamatkannya Iqra 1 semalam di bilangan usianya yg baru 4 tahun 3 bulan 11 hari.  Sudah dengan lancar dibacanya seluruh deretan huruf Hijaiyah dengan susunan runut, acak, maupun dr belakang. Bukan hal yg istimewa utk Musa sang Qori dari Bangka Belitung mungkin, tetapi ini menjadi berkah luar biasa untuk kami. Semoga Allah selalu memudahkanmu untuk menyerap ilmu-ilmu Islam berdasarkan Quran dan teladan Rasulullah ya, Nak. Semoga ilmu-ilmu itu nanti senantiasa menjadi suluh yg menerangi setiap langkahmu dlm menjalani kehidupan ke depan dengan atau tanpa ayah bunda. Semoga juga ilmu itu tak hanya menjadikanmu kaya sendiri, tetapi membuat orang-orang disekelilingmu pun merasakan manfaatnya karena ilmu yg bermanfaat itu adalah ilmu yg bisa diberikan dan bermanfaat bagi orang lain di luar dirimu. Allah Maha Mendengar. Dengan doa dan pinta Bunda, Allah pasti akan mengabulkannya. Amin. 😍

Hamzah di 1 Ramadan 1440

Ramadan hari pertama, Hamzah alhamdulillah dapat selesai sampai akhir. Tidak terhitung berapa kali ia menanyakan waktu berbuka. "Masih lama ya, Bun?", "Hamzah haus sekali. Gimana nih?", "Berapa jam lagi bukanya?", "Hamzah rasanya mau minum...", dan lain sebagainya.  Dengan es krim sebagai hadiah jika puasanya dapat bertahan sampai magrib, anak saleh kami itu pun kuat juga akhirnya.  Tahun lalu ia berpuasa hingga tiga hari di awal Ramadan kalau saya tidak salah. Tahun ini semoga ia bisa berpuasa hingga Ramadan usai. Kami ingin ia dapat memaknai setiap haus dan lapar yang dirasakannya dari pagi hingga menjelang matahari tergelincir di lengkung langit. Kami ingin ia dalam sebulan ini mencoba menjadi anak-anak yang tak seberuntung dirinya. Kami ingin Hamzah selalu ingat bahwa Allah telah memberikannya banyak nikmat. Kenikmatan yang tidak semua anak bisa merasakannya. Kami ingin ia bertumbuh dengan kemampuan berempati terhadap berbagai kes...

Jakarta (Cubing Method)

This is a kind of writing that we had to make today.  Shane just wanted to introduce us how to write a topic by using cubing method.  So, here is the result of mine.  I tried to describe the topic in a letter for my friend.  Let's read! Dear Wahyu,            Hi, how are you? Hopefully you are well.  Let me tell you about everything I have felt since the first time I came to Jakarta 2 months ago.           Perhaps everybody will say that I am a fool being not comfortable live in Jakarta.  But that is true.  I have to fight here.  You wanna know why? First, it's hard to find fresh air to breath to breath out of the building.  All that come to my lungs is just smoke of cars, buses, motorcycles, and bajai.  Second, I have to prepare coins everywhere I go because there will be many unlucky people who show their suffered faces and hope money from my pocket.  Then? Okay...I give some to them.  Third, I cannot see many trees and flowers which grow by themselves, or birds flying at...