Skip to main content

Semoga Bisa Seperti Mereka

Tidak ada yang istimewa hari ini. Bangun menjelang siang karena baru tidur pukul 3 dinihari, lalu bangun lagi satu jam kemudian untuk sholat shubuh dan kembali meringkuk dalam selimut usai sholat. Makan siang, buka Gmail dan Webmail, ada reminder dari perpustakaan untuk pengembalian beberapa buku yang sudah jatuh tempo. Mandi, lalu bergegas ke perpustakaan. Mengembalikan 6 buku, bayar denda, sekalian menambah deposit untuk peminjaman buku dari perpustakaan di seluruh universitas di Belanda. Setelah itu bergegas ke MPI, berharap Erwin masih menunggu di ruangannya karena nasib sepedaku dengan ban depannya yang bocor ada pada kartu magnetik Erwin. Kartu magnetikku sudah kadung kuberikan pada sekretaris MPI karena kontrak magangku berakhir minggu ini, sehingga garasi hanya bisa dibuka dengan mengandalkan kartu magnetik staff lain. 30 menit menunggu ban disehatkan kembali oleh mekanik di basement kampus, kami bersantai ditemani dengan basic menu berupa kentang goreng, fish fillet goreng, dan acar bermayonase beserta dessert segelas tiramisu dengan hiasan strawberry dan bagianku cocktail buah dengan cream dan taburan coklat diatasnya. Dinner pukul 5 sore. Sambil makan, sambil ngalor ngidul ngobrol tentang thesis, teman-teman, promosi ini itu, dan terakhir...tentang keluarga. Tanpa Erwin tahu, ada sesal yang bermain di hati, saat topik beralih pada cerita tentang keluarga dan orangtua.

Teringat perbincangan dengan mama dinihari tadi. Seperti malam-malam sebelumnya, harus menunggu pukul 1 yang berarti pukul 6 pagi di Indonesia agar bisa menelfon mama. Jika sebelumnya menelfon ke rumah hanya 3 kali dalam satu minggu, maka kini menjadi rutin, apalagi sejak mama dirawat dua minggu lalu karena hipertensinya yang seperti air laut, pasang surut dan seringkali mencapai kisaran 220 untuk tekanan darah sistoliknya. Terkadang tanpa sebab yang jelas. Ditambah kolesterol yang mencapai kadar 300 lebih.

Dan pagi ini perbincangan dengan mama agak sedikit menegangkan. Kemaren beliau sudah memutuskan untuk kembali mengajar murid-muridnya tercinta. Pukul 6 pagi, ku tanyakan kabarnya. Suara mama masih mengindikasikan kesehatan yang belum sepenuhnya pulih. Jika ditilik dari suara beliau, mungkin hanya sekitar 70% saja sehatnya. Lalu ibundaku tercinta mengatakan akan mengajar kembali hari ini. Bosan di rumah, hanya bolak-balik ke dapur, kamar, halaman, dan mutar-mutar di rumah juga. Ku coba balik bertanya...."Bukannya mama memang harus istirahat? Kalau mama ngajar, itu kan kerja, Ma. Bukan istirahat. Kalo ngajar pasti capek dong. Dan kelelahan bisa memicu tekanan darah mama kembali naik. Cobalah mama betah-betahin. Mama ga harus tidur terus juga sih....". Tetapi tetap saja mama kekeh untuk pergi. Ya sudah, berharap mama akan lebih baik jika memang dengan bertemu murid-muridnya bisa membuat mama lebih lega. Jawabanku akhirnya "Okay! Tapi jangan sampai siang, Ma. Begitu selesai kelas, mama langsung pulang saja ya...". Pagi tadi, mama kembali ku telfon. Dan benar saja...suara mama terdengar lebih lemas dari kemaren. Dugaanku benar! Mengajar tidak membuat mama lebih baik! Betul kan? Dan kali ini, mama benar-benar ku paksa untuk tidak lagi mengikuti kemauannya sendiri. Tidak kuberikan mama sedikitpun kesempatan untuk menyela kata-kataku. "Kasihan anak-anak kalo mama tidak masuk kelas.....mereka mengganggu kelas lain. Dan tidak ada guru yang bisa menggantikan.....". Ya tuhan....! Benar-benar perlu kesabaran ekstra nan sangat untuk membujuk orangtua agar bisa sepenuhnya memperhatikan kesehatan mereka. "Ada atau tidak guru yang akan menggantikan mama ketika tidak bisa masuk karena sakit, itu bukan urusan mama lho, Ma. Mama ga perlu mikirin itu. Itu tugas kepala sekolah dan yang lainnya. Terserah saja dengan mereka, mau ribut kek, mau keluar kelas kek, mau ga belajar kek. Yang penting mama istirahat dulu di rumah sampai mama benar-benar sehat". Dan aku baru sadar kalau mungkin sudah kelewat batas, ketika ku dengar mama hanya menjawab dengan "ya" yang lemah. Dan air mataku menjadi tak terbendung! Salah besar berbicara seperti itu pada mama. Dan dengan suara yang lebih lembut, kembali ku rayu beliau..."Maksud Isa baik, Ma. Kalau mama sudah sehat betul, mama bisa maksimal mengajar. Teman-teman mama pasti akan membantu mama kalau mama ga bisa masuk karena sakit". Dan sesalku sedikit terobati ketika mama kembali mengiyakan kata-kataku dengan suara yang tidak selemah tadi. Namun tetap dengan ending..."Mama cuma duduk saja di depan kelas, ga banyak jalan kok. Anak-anak yang mendekati mama....". Ku hela nafas panjang. Tak mau lagi meninggikan suara. Tak ingin membuat mama iba. Ya sudah...jika itu bisa membuat mama bahagia. Dan satu hal yang pasti akan kulakukan adalah menelfon Kepala Sekolah beliau yang kebetulan ku kenal dengan baik, agar mengizinkan mama pulang lebih awal jika mama merasa badannya kurang enak atau ketika kelas selesai. Jadi mama tidak perlu menunggu hingga pukul satu siang. Ku rasa beliau akan cukup bijak mengabulkan pintaku, karena selama ini, sejauh pengetahuanku, mama sangat berdedikasi dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya.

Lama aku terdiam. Membisu memperhatikan layar notebook-ku setelah usai berbincang dengan mama. Ingatanku terbang pada dua orang sahabatku yang patut ku acungkan jempol atas kesabaran mereka merawat orangtua mereka yang jauh lebih membutuhkan perhatian ekstra dan perlakuan khusus. Apa yang mereka lakukan jelas tak kan bisa dibandingkan dengan apa yang ku telah ku lakukan. Karena memang tidak ada apa-apanya. Mereka memiliki kesabaran dan hati seluas samudera. Kepentingan mereka menjadi nomor yang kesekian ketika harus dipertaruhkan dengan absennya mereka dari sisi orangtua yang betul-betul membutuhkan kehadiran mereka. Dan seketika tanyaku terjawab..."Mengapa tidak melanjutkan S3 lagi?" atau "Mengapa memilih S2 disini kalau kesempatan untuk melanjutkan study ke luar lebih besar?". Itu yang dulu ku tanyakan pada mereka di satu waktu, ketika kami masih sering berkumpul bersama. Dan pertanyaan itu sekarang menjadi begitu jelas jawabannya bagiku.

(Nijmegen, Friday, April 16, 2010)

Comments

Popular posts from this blog

Senin, 13 Juni 2016; 22.14 WIB

Alhamdulillah sudah ditamatkannya Iqra 1 semalam di bilangan usianya yg baru 4 tahun 3 bulan 11 hari.  Sudah dengan lancar dibacanya seluruh deretan huruf Hijaiyah dengan susunan runut, acak, maupun dr belakang. Bukan hal yg istimewa utk Musa sang Qori dari Bangka Belitung mungkin, tetapi ini menjadi berkah luar biasa untuk kami. Semoga Allah selalu memudahkanmu untuk menyerap ilmu-ilmu Islam berdasarkan Quran dan teladan Rasulullah ya, Nak. Semoga ilmu-ilmu itu nanti senantiasa menjadi suluh yg menerangi setiap langkahmu dlm menjalani kehidupan ke depan dengan atau tanpa ayah bunda. Semoga juga ilmu itu tak hanya menjadikanmu kaya sendiri, tetapi membuat orang-orang disekelilingmu pun merasakan manfaatnya karena ilmu yg bermanfaat itu adalah ilmu yg bisa diberikan dan bermanfaat bagi orang lain di luar dirimu. Allah Maha Mendengar. Dengan doa dan pinta Bunda, Allah pasti akan mengabulkannya. Amin. 😍

Hamzah di 1 Ramadan 1440

Ramadan hari pertama, Hamzah alhamdulillah dapat selesai sampai akhir. Tidak terhitung berapa kali ia menanyakan waktu berbuka. "Masih lama ya, Bun?", "Hamzah haus sekali. Gimana nih?", "Berapa jam lagi bukanya?", "Hamzah rasanya mau minum...", dan lain sebagainya.  Dengan es krim sebagai hadiah jika puasanya dapat bertahan sampai magrib, anak saleh kami itu pun kuat juga akhirnya.  Tahun lalu ia berpuasa hingga tiga hari di awal Ramadan kalau saya tidak salah. Tahun ini semoga ia bisa berpuasa hingga Ramadan usai. Kami ingin ia dapat memaknai setiap haus dan lapar yang dirasakannya dari pagi hingga menjelang matahari tergelincir di lengkung langit. Kami ingin ia dalam sebulan ini mencoba menjadi anak-anak yang tak seberuntung dirinya. Kami ingin Hamzah selalu ingat bahwa Allah telah memberikannya banyak nikmat. Kenikmatan yang tidak semua anak bisa merasakannya. Kami ingin ia bertumbuh dengan kemampuan berempati terhadap berbagai kes...

Jakarta (Cubing Method)

This is a kind of writing that we had to make today.  Shane just wanted to introduce us how to write a topic by using cubing method.  So, here is the result of mine.  I tried to describe the topic in a letter for my friend.  Let's read! Dear Wahyu,            Hi, how are you? Hopefully you are well.  Let me tell you about everything I have felt since the first time I came to Jakarta 2 months ago.           Perhaps everybody will say that I am a fool being not comfortable live in Jakarta.  But that is true.  I have to fight here.  You wanna know why? First, it's hard to find fresh air to breath to breath out of the building.  All that come to my lungs is just smoke of cars, buses, motorcycles, and bajai.  Second, I have to prepare coins everywhere I go because there will be many unlucky people who show their suffered faces and hope money from my pocket.  Then? Okay...I give some to them.  Third, I cannot see many trees and flowers which grow by themselves, or birds flying at...